Oleh
H. Ahmad Ridla Syahida, Lc., M.Ag
ridla.ars@gmail.com
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Al-Ma’arif Ciamis
A. PENDAHULUAN
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Mahamulia. Yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-'Alaq:1-5)
Ketika kita berbicara tentang wujud alam semesta dan aturan-aturan yang ada didalamnya, maka kita tidak bisa lepas dari manusia sebagai makhluk yang telah Allah ciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Keberadaan manusia di jagad alam raya ini menjadi bukti bahwa penciptaanya mengandung nilai dan hikmah yang sangat besar, eksistensinya pun menjadi penentu keberadaan dunia dan seisinya, seakan-akan manusia menjadi penguasa dimuka bumi ini, seluruh potensi alam tunduk kepadanya, seluruh agama datang karenanya, wahyu ilahi turun semuanya mengarah untuknya. Sehingga bisa dikatakan bahwa sekiranya wujud dunia ini tanpa kehadiran manusia maka bisa dipastikan tidak akan ada dinamika kehidupan yang berarti.
Begitupun ketika kita mentadabburi disetiap lembaran firman Allah dalam Al-Quran maka kita bisa menyaksikan bahwa pembahasannya tidak terlepas dari segala aspek dan berbagai permasalahan yang menyangkut dengan kemashlahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. [1]
Melihat begitu besarnya eksistensi manusia di alam raya ini menjadi suatu pertimbangan bagi malaikat tatkala Allah swt mengabarkan tentang penciptaan manusia, sebagaimana perkataan para malaikat yang terekam dalam Al-Quran:
'apakah engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disanah, sedangkan kami bertasbih, memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu' (Al-Baqarah:30).
Potensi manusia yang dinilai menyalahi fitrah penghambaan itu yang menjadi kekhawatiran bagi malaikat sehingga akhirnya dapat mengancam stabilitas keamanan alam semesta. perkataan malaikat tersebut disandarkan kepada pengetahuan mereka atas potensi manusia yang sesungguhnya, karena mereka menganggap bahwa apa yang telah mereka lakukan dari penghambaan secara total kepada-Nya; tasbih, tahmid dan ibadah yang lainya, itu merupakan tujuan utama dari keberadaan makhluk dialam semesta ini.
Bisa dibayangkan bila Allah menciptakan dunia tanpa kehadiran manusia, maka akan terwujudlah dimensi malaikat yang jauh dan terhindar dari berbagai polemik dan permasalahan, lalu dengan hadirnya manusia dialam raya ini menjadi penyebab keruhnya suasana, sehingga timbulah permusuhan yang tidak berujung, darahpun mengalir seakan tak berhenti, dan kerusakan nampak baik di darat maupun dilautan seakan menjadi bukti nyata bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mempunyai nilai kebaikan yang bisa menjadi identitas dirinya.
Namun Allah berkehendak lain, bahwa hanya Dialah yang Maha Mengetahui akan hakikat penciptaan dan keberadaan makhluk di alam semesta ini. Dimana Allah menciptakan makhluk yang mampu mengetahui akan hakikat dirinya dan mampu mengenal siapa penciptanya. Sehingga Allah mengamanahkan segala urusan dengan menjadikan khalifah dimuka bumi ini, dengan begitu keberadaannya penuh makna dan sejalan dengan tujuan yang telah Allah Swt gariskan sesuai kehendak ilahi; yaitu beribadah secara total semata-mata hanya kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
'Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku' (Adz-Dzariat;56)
Dimensi ibadah disini bukanlah terbatas hanya berupa penyucian dan pemujaan yang mana malaikat tidak mengetahui ibadah selain darinya, Akan tetapi ibadah disini mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar ritual peribadatan yang dikenal oleh malaikat; yaitu segala aktifitas dimuka bumi ini baik berupa upaya memakmurkan kehidupan manusia ataupun aktifitas penghambaan dalam proses mempersiapkan diri untuk kehidupanya di akhirat dengan niat semata-mata hanya mengharap keridhoan Allah maka secara sadar ia telah melakukan ibadah secara total kepada-Nya.
Penghambaan yang didasarkan atas kesadaran tanpa paksaan (baca: pilihannya sendiri) dan pengetahuan 'abid kepada ma'bud-nya hal ini menjadi asas dari perbedaan kondisi antara manusia dengan malaikat yang mana Allah Swt menyifatinya:
'yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang di perintahkan' (At-Tahrim;6)
Adapun manusia merupakan salah satu wujud makhluk di alam semesta ini yang mampu berkata 'tidak' ketika berhadapan dengan perintah ilahi, sebagaimana apa yang di kabarkan oleh Al-Quran:
'kami mendengarkan tetapi kami tidak menaati' (Al-Baqarah:93)
Dan firman Allah:
'barangsiapa mengehendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir' (Al-Kahfi: 29)
Dari sini kita bisa mengambil catatan bahwa Allah menyandarkan kehendak manusia pada dirinya sendiri sehingga ia bisa menentukan pilihan akhir hidupnya sesuai dengan keinginan dirinya. Hal ini sejalan dengan prinsip Al-Quran dalam proses perubahan diri, sebagaimana Allah berfirman:
'sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri' (Ar-Ra'd:11)
Lalu dengan berbagai keistimewaan yang teleh Allah berikan kepadanya, mampukah manusia memposisikan dirinya sebagai makhluk istimewa sehingga ia bisa menyadari bahwa disana ada wujud Sang Pencipta yang Maha Kuasa?!
Dari fakta inilah penulis mencoba mendiskusikan dalam hal bagaimana perspektif Al-Quran dalam memposisikan manusia sebagai satu satunya makhluk istimewa yang telah Allah benamkan berbagai potensi dalam dirinya sehingga menjadi makhluk yang Allah muliakan diatas ciptaan Allah yang lainnya.
B. MANUSIA PERSPEKTIF AL-QURAN
Di dalam Al-Quran manusia menjadi objek pembahasan utama setelah prinsip ketuhanan, bahkan secara khusus Allah menamai satu surat dengan nama Al-Insan (manusia) hal ini tidaklah berlebihan melihat manusia diciptakan dengan tujuan dan hikmah ilahi yang begitu besar. Pembahasan seputar manusia tersebut kita bisa melihat dari mulai pengambilan janji tentang pengakuan keyakinan bahwa Allah lah Tuhan yang harus disembah (Al-A'raf:172), proses embriologi (penciptaan) ke alam dunia (Al-Mukminun;12-16), hingga kabar tentang akhir penghampiran manusia ke alam baqa. [2]
Peryataan Al-Quran tentang manusiapun di ungkapkan dengan beberapa ungkapan kata berbeda: An-Nas (240 kali), Al-Insan (65 kali), Al-Insu (18 kali), Al-Basyar (35 kali), Bani Adam (7 kali) dan Khalifah/khalaif (6 kali).[3]
Pada makalah ini penulis hanya membatasi pembahasan dengan mencoba menguraikan beberapa penggunaan kata dalam Al-Quran ketika menggambarkan sosok manusia dalam artian:[4]
1. Manusia sebagai Al-Basyar
2. Manusia sebagai An-Nas
3. Manusia sebagai Al-Ins
4. Manusia sebagai. Al-Insan
Dari beberapa kata yang digunakan Al-Quran dalam menjelaskan hakikat manusia jika dilihat lebih mendalam ada sedikit perbedaan walaupun pada prinsipnya mengandung makana yang sama. Bint Al-Syathi dalam bukunya -Al-Quran wa Qadhaya Al Insan- menguraikan benang merah perbedaan diantara pola penggunaan kata tersebut. Terkhusus perbedaan makna dalam pengunaan kata Al-Insan ketika menunjukan makna manusia dengan kata-kata yang lainnya didalam Al-Quran.
1. Manusia sebagai Al-Basyar
Dari hasil pemahaman tentang konsep manusia dalam Al-Quran makan kata Al-Insan dalam Al-Quran tidak sepadan dengan pengertian Al-Basyar. Penggunakan kata ini sebagai gambaran wujud manusia yang nampak secara lahiriyahnya, diambil dari kata Al-Basyarah yang bermakna kulit yang nampak dan jelas sebagai perbandingan dengan makhluk lainnya termasuk hewan yang sebagian memiliki bulu atau rambut dan lain sebagainya. [5]
Penggunakan kata ini sebagai padanan kata manusia menunjukan sisi materialistik yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, dari mulai kebiasaan makan dan minum, berjalan dan belanja ke pasar, dan melakukan berbagai aktifitas kemanusiawiaan yang patut disejajarkan dengan seluruh jenis manusia yang lainnya. Maka manusia dalam artian ini mempunyai sisi alamiah dengan berbagai potensi dan kecenderungan yang dimilikinya, kata basyar dalam Al-Quran terdapat 35 kali disebutkan dalam berbagai tempat menunjukan ism jins (mencakup seluruh spesies manusia), diantaranya 25 kali menunjukan makna sisi kemanusiaan seorang rasul dan nabi dengan membandingkan sisi kesamaan diantara seorang rasul dan manusia biasa dalam aspek yang bersifat materi:
· }قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ $ قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا أَنْ نَأْتِيَكُمْ بِسُلْطَانٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ { (ابراهيم:10-11)
· }قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا{(الكهف:110)
Akan tetapi pada tempat yang lain Al-Quran menggambarkan sosok manusia dalam diri seorang rasul yang di ungkapkan dengan kata Al-Basyar itu berbeda dengan sisi kemanusian pada umunya, walaupun tidak di uangkapkan secara sharih namun dari redaksi kalimat kita bisa menangkap perbedaan tersebut:
· }وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعًا $ أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا $ أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا $ أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا { (الإسراء:90-93)
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat ayat Al-Quran yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui proses sehingga mencapai tahap kedewasaan.
}وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ{ (الروم:20)
Bertebaran disini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah tersentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu berhubungan seks) (QS: Ali Imran [3]:47) kata basyiruhunna yang digunakan Al-Quran sebanyak dua kali (QS Al-Baqarah [2]:187), juga diartikan dengan hubungan seks.
Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan kerena itupula tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar perhatikan QS Al-Hijr:28 yang menggunakan kata basyar dan QS Al-Baqarah:30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia.[6]
2. Manusia sebagai An-Nas
Begitupun Lafadz An-Nas berbeda dengan Al-Insan dalam Al-Quran. Kata An-Nas dalam Al-Quran diulang kurang lebih sebanyak 240 kali diberbagai ayat dan surat menunjukan makna secara jelas tentang hakikat semua jenis keturunan Bani Adam secara menyeluruh atau jenis dari sebagian makhluk yang ada di alam jagad raya ini:
· }يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ{ (الحجرات:13)
3. Manusia sebagai Al-Ins
Kata ini diulang dalamg Al-Quran kurang lebih sebanyak 18 kali menunjukan adanya keserupaan dengan kata Al-Insan yaitu dari segi makna aslinya yang diambil dari (أ ن س) yang menjelaskan sifat manusia dari segi potensi dirinya yang berlawanan dengan tabi'at liar dan ganas. Jika dilihat dari sisi lughawi kata ini bermakna jinak dan ramah. Namun masing masing mempunyai kekhususan dan karakteristik berbeda dari yang lainya yang nanti penulis paparkan pada pembahasan manusia sebagai Al-Insan.
Didalam Al-Quran kata Al-Ins seringkali dihadapkan/disandingkan dengan jin/jan. melihat bahwa jin adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata dan bisa di rasa oleh indra:
· }وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ{ (الأنعام:112)
· }قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ فِي النَّارِ كُلَّمَا دَخَلَتْ أُمَّةٌ لَعَنَتْ أُخْتَهَا حَتَّى إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ لِأُولَاهُمْ رَبَّنَا هَؤُلَاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لَا تَعْلَمُونَ{ (الاعراف:38)
Bergandengannya kata Al-Ins dengan Al-Jin pada ayat-ayat tersebut menjadi pembeda diantara dua jenis makhluk yaitu manusia dan jin, meskipun keberadaan jin tidak bisa kita lihat dengan kasat mata karena perbedaan materi penciptaan diantara keduanya. Hal inipun menjadi bukti bahwa di alam ini selain hadirnya manusia, disana terdapat kehidupan alam jin yang tersembunyi dari pengindraan manusia.
4. Manusia Sebagai Al-Insan
Sebagaimana penulis paparkan bahwa diantara kata Al-Insan dan Al-Ins mempunyai kesamaan makna dan segi pengambilan kata aslinya yaitu mencakup segi ta'biat lahiriyah: jinak dan ramah yang ada dalam diri manusia, akan tetapi masing masing darinya mempunyai karakteristik dan pemaknaan yang berbeda.
Kata Al-Ins seperti dalam paparan sebelum nya, Al-Quran menggunakannya selalu disandingkan dengan kata Al-Jin yang mempunyai sifat liar dan tersembunyi.
Adapun manusia sebagai Al-Insan berbeda dari kata Al-Ins ditinjau dari segi perhatian Al-Quran dalam memperkenalkan asal penciptaan manusia (QS Al-Hijr:26), sebagaimana manusia sebagai Al-Insan pun berbeda dengan Al-Basyar yang identik dari sisi kemanusiaan yang materialistik; kebiasaan makan dan minum dan berjalan di pasar.
Akan tetapi Insaniyah mengadung makna yang lebih dalam bahwa keberadaan manusia di muka bumi ini merupakan sebagai wujud dari amanah dan kepercayaan Allah kepada Al-Insan untuk naik ke derajat yang lebih tinggi dari sekedar manusia Al-basyar dan Al-Ins, menjadi makhluk yang siap menanggung beban kekhilafahan dimuka bumi ini dan menjalankan kewajiban yang di bebankan (taklif) kepadanya.
Ke istimewaan yang dimiliki Al-Insan sebagai manusia yang sempurna dan dimuliakan diatas semua makhluk selainnya (QS Al-Isra:70), karena keistimewaan potensi yang diberikan; dengan dikaruniakan akal dan ilmu serta berbagai ujian dan cobaan yang ditimpakan kepada manusia menjadi nilai lebih baginya. Kata Al-Insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan. [7]
'Abbas Mahmud 'Aqqad dalam kitabnya -Al-Insan fi Al-Quran Al-Kariem- menegaskan tentang ke-insaniyahan persepktif Al-Quran; merupakan perwujudan dari manifestasi Allah Swt selaku pemegang tanggung jawab amanat kekhalifahan diantara semua makhluk yang telah Allah ciptakan. Al-Insan yang di karuniai akal untuk mencerna apa yang dia lihat dan dengar, Al-Insan yang dengan perasaannya mampu untuk menghayati dan mengetahui akan wujudnya Allah dalam ke-ghaib-an-Nya. Al-Insan semenjak dari generasi pertama hingga akhir merupakan satu kesatuan pangkal penciptaan, dimana yang paling mulia diantaranya, adalah yang paling banyak melakukan amal kebaikan dan menutup segala pintu kejelekan, sangat kuat tekad dan niatnya sehingga mampu merealisasikan 'azzam-nya, bertaqwa disetiap hembusan nafasnya[8]
Kata Al-Insan terulang sebanyak 65 kali didalam Al-Quran, hakikat insaniyah inilah yang menjadi keistimewaan pada diri manusia sebagaimana Al-Quran menggambarkannya dalam wahyu pertama sebagai deskripsi tentang karakteristik yang dimiliki manusia. Maka kita akan melihat sifat humanisme yang nampak padanya, kata Al-Insan diulang didalam surat tersebut sebanyak tiga kali:
Pertama : Menjelaskan tentang asal penciptaannya dari 'alaq
Kedua : Menunjukan keistimewaannya dengan dikaruniakan al-'Ilm
Ketiga : Peringatan tentang potensi manusia dari kedurhakaan dan berbagai tipuan dan godaan yang mengarahkannya akan penilaian diri bahwa ia merasa cukup dan tidak butuh akan sang pencipta.
}اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ $ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ $ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ $ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ $ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ $ كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى $ أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى $ إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى{ (العلق:1-8)
Ini merupakan gambaran umum tentang karakteristik yang dimiliki manusia, adapaun ciri atau manusia secara khusus tersebar di berbagai ayat dan surat dalam Al-Quran, yang insyaAllah akan penulis jelaskan dalam pembahasan selanjutnya.
C. KARAKTERISTIK MANUSIA DALAM AL-QURAN
Disatu sisi Al-Quran mendeskripsikan sosok manusia dengan sangat indah, dengan menampilkan berbagai kelebihan yang dimilikinya bahkan kadang dihiasi pujian yang tidak di berikan kecuali hanya kepada manusia. Namun disisi yang lain kita bisa meyaksikan bahwa Al-Quran dengan secara keras mengecam dan mencaci tabi'at manusia yang melakukan perbuatan diluar batas fitrah penciptaannya, bahkan Al-Quran memaparakan kondisi tersebut dalam satu ayat di banyak tempat (Lihat QS At-Tin:4-5), seakan menggambarkan dualisme sifat yang ada dalam diri seorang manusia.
Hal ini bukan berarti bahwa manusia seorang makhluk yang pantas di puji sekaligus di caci dalam satu kesempatan, akan tetapi hal ini menjadi sebuah fakta nyata bahwa manusia merupakan manifestasi tuhan yang memiliki sifat kesempurnaan namun dalam posisi yang sama manusia juga memiliki sifat kekurangan dimana kedua unsur ini merupakan fitrah yang telah Allah benamkan kedalam diri manusia, maka label manusia sebagai ahli kebaikan dan ahli keburukan layak disematkan kepadanya, karena manusia diciptakan oleh Allah sebagai Ahl li At-Taklief (yang dibebani). Maka manusia harus mempertanggung jawabkan akan dampak dari setiap perbuatannya, baik itu secara individu maupun sosial, karena Allah tidak akan meminta pertanggung jawaban dosa kecuali atas apa yang dia perbuat (QS Ath-Thur:21) .[9]
Jika kita memperhatikan pemaparan Al-Quran dalam menjelaskan sifat dan tabi'at manusia dengan menggunakan lafadz Al-Insan maka kita akan menemukan bahwa manusia mempunyai potensi yang beragam, baik itu bersifat jabaliyah (watak dasar) yang pada prinsipnya masih bisa menerima perubahan dan tidak bersifat permanent. Maupun bersifat kasbi suluki (sifat yang lahir dari usaha) yang jika sifat itu terwujud dalam diri seorang manusia maka akan menjadi faktor keistimewaan eksistensi manusia itu sendiri sebagai makhluk hidup di alam jagad raya ini.
Dari berbagai karakteristik Al-Insan tersebut penulis rangkum dalam 14 sifat sebagai berikut:[10]
1. Lemah
Sebagaimana firman Allah:
}يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا{ (النساء:28)
}اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ} (الروم:54)
Ketidakberdayaan atas kelemahan ini menjadi asal penciptaan manusia, sifat ketidak sabaran, lemah tekad dari melawan rongrongan hawa nafsu, dan keenganan memikul beban dari berbagai ibadah dan ketaatan kepada sang pencipta. Sifat ini menjadi fakta bahwa manusia tidak bisa berdiri sendiri akan tetapi secara fitrah membutuhkan kekuatan absolut yang bisa memberikan spirit bagi dirinya.
2. Tergesa-gesa
Sebagaimana firman Allah Swt:
}وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا{ (الإسراء:11)
}خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ سَأُرِيكُمْ آيَاتِي فَلَا تَسْتَعْجِلُونِ{ (الأنبياء:37)
Ketergesaan ini menjadi ciri khas manusia dalam menjalankan aktifitasnya, sifat manusia yang menginkan segala hal hadir dan muncul secara instan dan enggan menunggu waktu lama, seperti tabiat manusia yang berdoa kepada Allah dan dengan segera tanpa penantian lama menginginkan doa tersebut segera terkabulkan. Ketidakmampuan untuk bersabar dan menanti waktu yang tepat inilah yang menjadi sisi negatif yang ada dalam diri manusia sehingga Al-Quran menggambarkan sosok manusia yang suka tergesa-gesa dengan image buruk.
3. Berkeluh kesah/gelisah
Allah swt berfirman dalam kitab sucinya:
}إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا{ (المعارج:19)
Manusia yang tak mau bersabar, kegelisahan atas perkara yang tidak bisa terwujud tabi'at ini yang selalu muncul ketika manusia menampakan sifat aslinya, bahwa manusia akan selalu merasa kurang atas karunia yang didapat dan takut ketika nikmat tersebut dicabut. Maka manusia ketika Allah uji dengan cobaan dan musibah maka ia akan mudah mencaci dan memaki perkara tersebut seakan enggan menjalaninya. Begitupun ketika Allah limpahkan kebaikan berupa harta kesehatan maka lahirlah sifat pelit, tamak dan rakus dalam diri manusia tersebut lalu enggan untuk menyerbarkan kebaikan yang telah Allah berikan sehingga orang lain bisa merasakan sebagaimana yang ia rasakan.
4. Putus Asa
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ{ (هود:9)
}وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا{ (الإسراء:83)
Rasa putus atas dalam jiwa akan datangnya rahmat Allah karena hilangnya rasa sabar dan keyakinan yang kuat kepada-Nya, menjadi karakteristik manusia.
5. Kikir/Pelit
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا { (الإسراء:100)
Naluri akan kecintaan terhadap dunia bisa menggelapkan mata dan hati, memandang bahwa perhiasan dunia adalah segalanya sehingga ia merasa bahwa ia akan hidup kekal selamanya. Jika kematerian ini yang menjadikan manusia haus akan harta dan enggal memberikan sebagian yang dimiliknya untuk berbagi dengan sesama.
6. Mudah terperdaya
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ { (الإنفطار:6)
Manusia tidaklah diciptakan untuk menyendiri, akan tetapi manusia diciptakan untuk memakmurkan alam bumi dan seisinya, interaksi ini yang tidak mungkin lepas dari manusia sehingga mengaruskan nya bersentuhan dengan berbagai materi, manusia yang lemah mudah terperdaya dengan dunia dan apa yang ada didalamnya, pangkat, jabatan, bahkan manusia sering terperdaya dengan potensi yang bersentuhan langsung dengan dirinya, yaitu nafsu dan syahwat. Maupun gangguan dari faktor eksternal yaitu syaitan sebagai musuh yang nyata bagi manusia yang bertugas menipu dan memperdaya manusia dengan maksiat dan dosa.
7. Dzalim
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ{ (إيراهيم:34)
}إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا{ (الأحزاب:72)
Selain manusia mempunyai sifat suka medzalimi hak-hak orang lain, ternyata kadang tanpa sadar manusia juga sering mendzalimi dirinya sendiri. Yaitu ketika manusia melupakan akan nikmat dari Allah dengan pandai bersyukur kepadanya atapun dengan tingkah polah manusia yang gemar melakukan kemungkaran dihadapan tuhannya.
8. Bodoh
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا{ (الأحزاب:72)
Potensi akal yang Allah karuniakan kepada manusia, kadang ia tidak pergunakan dengan semestinya, akal yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam menopang kuatnya dorongan nafsu dan syahwat sudah seyogyanya menjadi alat untuk menyelamatkan dirinya dari belenggu jiwa. Namun apa daya lagi-lagi manusia yang lemah tidak bisa memanfaatkan akalnya sehingga ia terperosok dalam jurang kebodohan yang mengantarkannya dalam penyesalan.
9. Suka membuat pertentangan
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ{ (النحل:4)
}أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ{ (يس:77)
10. Yang suka membantah
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا{ (الكهف:54)
11. Durhaka dan suka melampaui batas
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى{ (العلق:6)
12. Ingkar/tidak bersyukur
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ{ (العاديات:6)
13. Ingkar terhadap nikmat Allah dan enggan untuk menyukurinya
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ{ (هود:9)
}وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ{ (إيراهيم:34)
14. Kerugian
Allah Swt berfirman dalam Al-Quran:
}إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ{ (العصر:2)
D. PENUTUP
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dari dua unsur; pertama berupa materi (QS Ali-Imran :59) dimana pada penciptaan awal manusia Allah menciptakan Nabi Adam dari segumpal tanah yang kelak dari sisi materi ini akan membawa manusia kepada gharizah dunyawi yang mengantarkannya kepada kecintaan terhadap dunia dan perhiasan yang ada didalamnya. Kedua adalah unsur sentuhan ilahi dengan menyempurkan penciptaan materi dengan meniupkan padanya ruh (QS Al-Hijr:29) sehingga munculah dalam dirinya kekuatan penyeimbang dari potensi materi. Para ulama memahami bahwa ruh yang Allah tiupkan kedalam diri manusia sebagai wujud internal hanya berupa satu kekuatan yang menunjukan empat sisi kemampuan manusia untuk berinteraksi dengan diri dan lingkungan sekitarnya yaitu; adanya hati, akal, nafsu/syahwat, dan ruh.[11]
Maka manusia dengan adanya dua unsur ini mengaruskan dirinya untuk melatih dan mendidik kemampuat fitranya agar sejalan dengan norma dan kehendak sang pencipta. Agar proses perjalanan kehidupan nya didunia bisa menjadi ladang amal dalam mempersiapkan kehidupan yang lebih kekal.
[1] Mahmud Hamdi Zaqzuq, Ad-Din Lil Hayah, (Cairo: Al-Haiah Al-Mishriyah Al-'Ammah Lil Kitab, 2010), hlm. 129.
[2] 'Imaduddin Khalil, Al-Quran Al-Kariem wa Muqawwamat An-Nahdhah, (Oman: Jam'iyyah Al-Muhafazah 'ala Al-Quran Al-Kariem, 2011), hlm. 311.
[3] Muh Anis, Juli-Desember 2008, Manusia Dalam Pespektif Al-Quran (Kajian Kependidikan), Vol. 3, No.2.
[4] 'Aisyah 'Abd Ar-Rahman Bintu Asy-Syathi, Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan, (Cairo: Dar Al-Ma'rifah, t.t). dari hlm. 15-20
[5] Majduddin Muhammad Ibn Ya'qub Al-Fairuzabadi, Bashair Dzawi At-Tamyiz fi Lathaif Al-Kitab Al-'Aziz, Juz 2, (Cairo: Wizarah Al-Auqaf, 2009), hlm. 203
[6] M Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudu'i Atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, cet.13, 1996), hlm. 276
[7] M Quraish Shihab, op. cit., hlm 277.
[8] 'Abbas Mahmud 'Aqqad, Al-Insan fi Al-Quran Al-Kariem, (Cairo: Dar Al-Islam, t.t), hlm. 10.
[9] 'Abbas Mahmud 'Aqqad, op.cit. hlm. 13
[11] Thaha Ad-Dasuqi Hubaisyi, At-Tasawuf Al-Islami Ath-Thariq wa Ar-Rijal, (Cairo: t.t), hlm. 3
Daftar Pustaka
Buku:
'Abbas Mahmud 'Aqqad, Al-Insan fi Al-Quran Al-Kariem, (Cairo: Dar Al-Islam, t.t)
Ahmad Hatta, Tafsir Quran Per Kata, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, cet.5, 2011).
'Aisyah 'Abd Ar-Rahman Bintu Asy-Syathi, Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan, (Cairo: Dar Al-Ma'rifah, t.t).
'Imaduddin Khalil, Al-Quran Al-Kariem wa Muqawwamat An-Nahdhah, (Oman: Jam'iyyah Al-Muhafazah 'ala Al-Quran Al-Kariem, 2011).
M Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudu'i Atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, cet.13, 1996).
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Ad-Din Lil Hayah, (Cairo: Al-Haiah Al-Mishriyah Al-'Ammah Lil Kitab, 2010)
Majduddin Muhammad Ibn Ya'qub Al-Fairuzabadi, Bashair Dzawi At-Tamyiz fi Lathaif Al-Kitab Al-'Aziz, Juz 2, (Cairo: Wizarah Al-Auqaf, 2009).
Thaha Ad-Dasuqi Hubaisyi, At-Tasawuf Al-Islami Ath-Thariq wa Ar-Rijal, (Cairo: t.t).
Jurnal:
Muh Anis, Juli-Desember 2008, Manusia Dalam Pespektif Al-Quran (Kajian Kependidikan), Vol. 3, No.2.
Komentar
Posting Komentar