Langsung ke konten utama

PEMIKIRAN TAFSIR ABU HAYYAN AL-ANDALUSI DALAM AL-BAHR AL-MUHITH

Oleh
H. Ahmad Ridla Syahida, Lc., M.Ag.
ridla.ars@gmail.com
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Al-Ma’arif Ciamis


BAB I
PENDAHULUAN

Bagi kaum muslimin, Al-Quran selain dianggap sebagai kitab suci (scripture), ia juga merupakan kitab petunjuk (QS. Al-Baqarah:2). Oleh karena itu, ia selalu dijadikan rujukan dan mitra dialog dalam menyelesaikan problem kehidupan yang mereka hadapi. Al-Quran benar-benar bukan hanya menempati posisi sentral dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, melainkan juga menjadi inspirator dan pemandu gerakan dan dinamika umat islam sepanjang kurang lebih empat belas abad yang lalu. Hingga kini gema keagungan Al-Quran masih dirasakan pengaruhnya oleh setiap jiwa insan qurani.
Bagaimana sejarah mencatat bahwa umat islam pada masa awal tidak hanya membaca Al-Quran, tetapi mampu memahami dan mengkontekstualisasikan Al-Quran kedalam nilai-nilai praktis, menjadi etos kerja, dan etos berperadaban yang tinggi.Tidaklah salah jika Al-Quran menjadi salah satu dari sejumlah kecil kitab yang telah memberikan pengarus luas dan menjadalam terhadap jiwa dan tindalakan manusia. 
Al-Quran menjadi satu fenomena dalam sejarah agama, yaitu dokumen historis yang merefleksikan situasi hermeneutis dalam sosio-ekonomis, religius, politik masyarakat muslim dan lainnya. Pada saat yang sama, Al-Quran juga merupakan teks petunjuk dan tata aturan tindakan bagi berjuta-juta manusia yang ingin hidup dibawah naungannya dan mencari makna kehidupan didalamnya. Al-Quran membentuk pemikiran mereka dan mengalir masuk kedalam literatur dan wacana keseharian.[1] 
Keinginan umat islam untuk selalu mendialogkan Al-Quran sebagai teks yang terbatas, dengan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian tafsir Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran meskipun turun dimasa lalu, dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, ia mengandung nilai-nilai universal yang akan selalu relevan untuk setiap zaman dan tempat (shalihun likulli zaman wa makan). 
Sesuai dengan spirit penafsiran tersebut para cendikia dan ulama disetiap masa berusaha untuk menggali makna terdalam yang terkandung didalam Al-Quran agar nilai-nilai luhur ajarannya bisa disemai oleh setiap insan yang haus akan hidayah Allah Swt. 
Oleh karena itu, upaya memahami, menyingkap dan menjelaskan ayat-ayat Al-Quran secara terus menerus merupakan keniscayaan bagi kaum muslimin di setiap zaman[2]. Kajian Al-Quran sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik hingga kontemporer, dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan.
Kita bisa menyaksikan bagaimana begitu menggeliat aktifitas penafsiran dengan lahirnya karya-karya tafsir dari para ulama yang hidup pada abad ketiga sampai dengan abad ke delapan hijriah.  Sejumlah karya monumental seperti Tafsir Ath-Thabari (karya Ibn Al-Jarir Ath-Thabari), Al-Muharrar Al-Wajiz (karya Ibn Athiyah), Tafsir Al-Kasyaf (karya Az-Zamakhsyari) dan Tafsir Al-Bahr Al-Muhith (karya Abu Hayyan Al-Andalusi), menunjukan etos dan produktifitas para ulama untuk mengkaji dan menafsirkan Al-Quran dari zaman ke zaman.
Salah satu tafsir yang mempunyai pengaruh sangat besar baik dimasanya maupun hingga sekarang yaitu Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, maha karya dari serorang ulama Andalusia yaitu Abu Ḥayyan al-Gharnathi adalah seorang ulama ahli tafsir Al-Qur'an dan ahli tata bahasa Arab berasal dari Spanyol Islam yang hidup pada abad ke-8 H/14 M. Pada masanya kepakarannya dalam bidang  tata bahasa telah mendapat pengakuan hampir secara universal. Ia juga dikenal sebagai ahli bahasa yang sangat tertarik dengan berbagai bahasa selain bahasa Arab, sehingga menulis banyak karya tulis baik dalam perbandingan linguistik juga analisis dan penjabaran tata bahasa dari bahasa asing secara rinci yang ditujukan bagi orang yang bahasa ibunya berbahasa Arab.
Kepiawaiannnya dalam ilmu-ilmu bahasa arab: nahwu, sharf dan balaghan memberikan warna khusus didalam tafsirnya, selain itu ditunjang dengan penguasaan qira'ah mutawatirah dan qira'ah syadz memposisikan Tafsir Al-Bahr Al-Muhith menjadi salah satu rujukan utama dalam bidang ilmu qira'at bagi para ulama yang datang sesudahnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Abu Hayyan
Nama lengkapnya adalah Atsiruddin Abu 'Abdillah[3] Muhammad Ibn Yusuf Ibn 'Ali Ibn Yusuf Ibn Hayyan An-Nafzi Al-Andalusi Al-Jayyani Al-Gharnathi Al-Maghribi Al-Maliki Asy-Syafi'i[4], yang masyhur dengan sebutan Abu Hayyan. Beliau lahir pada akhir Syawal tahun 654 H/ November 1256 M[5]. Para ulama berbeda pendapat termasuk Ibn As-Subki dan Ibn Al-'Imad dalam menentukan tempat kelahirannya, apakah ia dilahirkan di kota Jaen, Mathkharisy meskipun pada hakikatnya kedua kota tersebut sebenarnya berada dibawah kedudukan Granada pada waktu itu[6].
Di Granada ia dibesarkan di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat yang hidup dalam kepatuhan tinggi terhadap doktrin agama Islam. Di bawah pengawasan ayahnya, al-Andalusi mulai menghafal Al-Qur’an. Setelah itu, ia menashih hafalannya kepada sejumlah ulama semisal Al-Khatib 'Abd Al-Haq Ibn Ali, Al-Khatib Abu Ja’far Ibn Ath-Thibai. kemudian juga ia mematangkan pendalaman Al-Qurannya kepada Al-Hafiz Abu Ali ibn Abu Al-Ahwash. Ia pun banyak menerima berbagai disiplin ilmu dari berbagai ulama Andalusia dan Afrika. Ketika Abu Hayyan mengunjungi Iskandariah ia mempelajari qira'at kepada Abdul Nashir IbnAli Al-Muryuthi, kemudian ketika di Cairo ia belajar kepada 'Ali Abi Thahir Isma'il Ibn 'Abdullah Al-Muliji sehingga Abu Hayyan bisa menguasai dengan sempurna berbagai jenis qira'at baik itu yang shahih maupun yang syadz. Ia pun kemudian ber-mulazamah dengan syaikh Bahauddin Ibn An-Nuhas dan mendapat banyak pengajaran tentang berbagai jenis kitab adab. Ash-Shafadi pun memuji tentang kesungguhan Abu Hanyyan dalam perjuangan kerasnya dalam menuntut ilmu: "Aku tidak melihat Abu Hayyan ada dalam sebuah maejlis ilmu kecuali ia sedang sibuk dan fokus mendengarkan, menulis ataupun sedang membaca sebuah kitab, dan aku tidak melihat selain dari pada kondisi itu"[7]
Dalam rihlah pencarian ilmu nya Abu Hayyan telah banyak berguru kepada para ulama dalam berbagai disiplin ilmu dari berbagai penjuru bumi dan berbagai pelosok Negara. Jalaluddin As-Suyuti[8] menceritakan bahwa Abu Hayyah telah belajar kepada ulama yang berasal dari Andalusia, Afrika, Iskandariah, Mesir, Syam, Hijaz. ia berguru kepada tak kurang dari 450 ulama dan entah berapa banyak gurunya yang telah mengijazahkan berbagai ilmu kepadanya[9]. Sebagian ulama yang menjadi gurunya diantarannya adalah:
   1.      Ahmad Ibn Ibrahim Ibn Az-Zubair Ats-Tsaqafi Al-'Ashimi Al-Garnathi, pengarang kirab Milak At-Ta'wil Al-Qathi Bidzawi Al-Ilhad wa At-ta'thil fi taujih Al-Mutasyabih Al-Lafdz min Ayi At-Tanjil
   2.      Al-Husain Ibn 'Abd Al-'Aziz Muhammad Ibn 'Abd Al'Aziz
3.      'Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn 'Abd Ar-Rahim Al-Khasyini Al-Abadzi Abu Al-Hasan
4.      Muhammad Ibn 'Ali Ibn Yusuf Abu 'Abdillah Al-Anshari Asy-Syathibi 
5.      Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Abi Nashr Abu 'Abdillah Bahauddin An-Nuhas
6.      Muhammad Ibn Mushthafa Ibn Zakaria Ibn Khawaja Ibn Hasan Ad-Daruki Ash-Shalghari
7.      Ahmad Ibn 'Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn 'Isa Ibn 'Iyasy Abu Ja'far Ibn Ath-Thiba' Ar-Ra'ini Al-Garnathi
8.      Ahmad Ibn Yusuf Ibn 'Ali Ibn Yusuf Al-Fahri Al-Layali
9.      'Abd Al-Haq Ibn 'Ali Ibn 'Abdullah Ibn Muhammad Ibn 'Abd Al-Mulk Abu Muhammad Al-Garnathi
Dan masih banyak lagi para ulama yang menjadi lumbung ilmu Abu Hayyan dalam memperdalah khazanah keilmuannya diberbagai bidang disiplin ilmu sehingga ia menjadi salah satu tokoh ilmuan islam sekaligus seorang mufassir yang banyak menyumbangkan gagasan dan penafsiran baru dalam mengungkap luasnya samudra kalam ilahi.
Begitupun tidak sedikit orang-orang yang menimba ilmu kepadanya, datang dari berbagai golongan baik tua maupun muda mereka berbondong-bondong ber-istifadah darinya. Sehingga dari rahim intelektualnya lahirnya berbagai cendikiawan yang menjadi para ahli dimasanya. Ibn Al-Jazari meriwatkan bahwa ketika Abu Hayyan menetap di Mesir dan mencurahkan ilmunya dengan memberikan pengajaran baik melalui pena maupun ceramah disanalah masa proses transfer ilmu kepada murid-muridnya[10]. Diantara sebagian muridnya adalah:
1.      'Ali Ibn 'Abd Al-Kafi Ibn 'Ali Ibn Tamam Ibn Yusuf Ibn Musa Ibn Salim As-Subki Taqiyuddin Abu Al-Hasan 
2.       Ahmad Ibn 'Ali 'Abd Al-Kafi Ibn 'Ali Ibn Tama As-Subki
3.      Muhammad Ibn 'Abd Al-Bar Ibn Yahya Ibn 'Ali Ibn Tamam Bahauddin Abu Al-Baqa As-Subki
4.      Ahmad Ibn Yusuf Ibn 'abd Ad-Daim Ibn Muhammad Al-Halabi
5.      'Abdullah Ibn 'Abdurrahman Ibn 'Abdullah Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn 'Aqil
6.      Muhammad Ibn Ahmad IBn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Marzuq Abu 'Abdullah At-Tilmisani
7.      Ahmad Ibn 'Abd Al-Qadir Ibn Ahmad Ibn Maktum Ibn Ahad Ibn Muhammad Ibn Salim Ibn Muhammad Al-Qisi
8.      Muhammad Ibn Yusud Ibn Ahmad Ibn 'Abd Ad-Daim Al-Halabi
9.      Al-Hasan Ibn Qasim Ibn 'Abdullah Ibn 'Ali Al-Muradi Al-Misri
10.  Muhammad Ibn Muhammad Ibn 'Ali Ibn 'Abd Ar-Razaq Al-Gumari
Dan masih banyak lagi selain daripara murid-murid Abu Hayyan tersebut. Tidak kurang dari 50 ulama yang tercatat sebagai muridnya[11] , Ibn As-Subki bahkan mengomentari bahwa mayoritas para pelajar pada masanya lahir dari rahim intelektualnya.[12]
Adapun karya yang telah dihasilkan Abu Hayyan semasa hidupnya sangat banyak yang tersebar baik semasa hidupnya maupun selepas kepergiannya ke rahmatullah. Tidak kurang dari 50 karya dalam berbagai bidang disiplin ilmu ia torehkan, diantara karya terbaik nya adalah:
1.       Bidang Tafsir seperti: Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, dan Nahr Al-Mad (ringkasan Abu Hayyan dari Tafsir Al-Bahr Al-Muhith)
2.       Bidang Qiraat seperti: 'Aqd Al-Lali fi Qiraat As-Sab' Al-'Awali, Al-Halil Al-Haliyah fi Asanid Al-Qiraat Al-Aliah, Taqrib Al-Naiy fi Qiraat Al Kisai. Dan banyak lagi, terdapat 11 kitab kesemuanya dalam bidang qiraat.
3.       Bidang Fiqh seperti: Al-Wahaj fi Ikhtisar Al-Minhaj, Al-Anwar Al-Ajali fi Ikhtisar Al-Muhalla, Masail Ar-Rusyd fi Tajrid Masail Nihayah Ibn Rasd, tetapi tidak sempat terselesaikan, dan Al-I'lam bi Arkan Islam.
4.       Bidang Bahasa seperti: Itihaf Al-Arib bima fi Al-Quran min Al-Gharib, Irtidha fi Al-Farq baina Dhad wa Zho, Al-Idrak Al-Lisan Al-Atrak. Dan masih banyak lagi kitab-kitabnya dalam bidang ini semuanya berjumlah 8 buah kitab.
5.       Bidang Nahwu seperti: At-Tazkirah, As-Syaz fi Masalah Kaza, Al-Syadzarah, dan Ghoyah Al-Ihsan fi Ilm Al-Lisan. Dan masih banyak lagi kitab-kitabnya dalam bidang ini semuanya berjumlah 21 buah kitab.
Dalam perjalanan pengembaraannya Abu Hayyan menetap di Mesir hingga wafat tahun 745 H/1344 M (Berusia ± 87-88 Tahun).  Ia selalu dikenang sejarah karena karakternya yang menawan. Al-Adfawi, teman seperjalannya, mengisahkan hal ini, “Ia seorang yang adil, jujur, dan selamat akidahnya dari serangkaian bid’ah filsafat, muktazilah, tajsim. Ia sangat khusyu’. Sering ia menangis ketika membaca Al-Qur’an. Perawakannya berbadan tinggi, tampan, berkulit putih kemerah-merahan, rambutnya panjang dan tertata rapi.”[13]

B.     Seputar Tafsir Al-Bahr Al-Muhith
Sepanjang perjalanan hidupnya, Abu Hayyan sangat bercita-cita untuk menulis sebuah kitab Tafsir. Maka ketika ia menjadi guru tafsir di Madrasah Qubah Sultan Malik Mansur pada usia 57 tahun, tepatnya pada tahun 710 H[14], mulailah ia merealisasikan keinginanannya tersebut. Dan proses penulisan tafsir al-Bahr al-Muhith merupakan fase akhir dari penulisan karyanya.
  1. Sumber Penafsiran
Secara global sumber penafsiran yang digunakan oleh Abu Hayyan didalam Al-Bahr Al-Muhith menggunakan bi ar-ra'yi, yaitu suatu penafsiran yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul, nasikh mansukh dan sebagainya[15]
Namun dalam perjalanannya iapun mengikuti manhaj yang biasa dipakai oleh para pelopor dari kalangan para ulama Andalusia, yaitu bersandar kepada riwayat dengan ditopang rasio dengan syarat dan ketentuan tidak tunduk kepada hawa dan subjektifitas buta, kemudian penafsiran tersebut harus tetap bersandar kepada pendapat para ulama yang berlandaskan ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa dan usul fiqh[16].
Jika kita teliti secara seksama dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhith maka kita akan mendapat suatu kesimpulan secara jelas bahwa Abu Hayyan terpengaruhi didalam penafsirannya oleh para mufassir sebelumnya, hal ini nampak sekali didalam muqaddimah tafsirnya. Abu Hayyan membuat pembahasan khusus tentang kedua tokoh yang mempunyai pengaruh besar dalam analilis penafsirannya[17]. Dimana ia mengambil sumber dalam penafsirannya dari pendahulunya diantaranya yang paling dominan adalah Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasyafnya, dan Ibn 'Athiyah dalam Al-Muharrar Al-Wajiznya, selain itupun Abu Hayyan iapun mengambil rujukan didalam penafsirannya dari gurunya yang terkenal dengan Ibn An-Naqib didalam kitab nya At-Tahrir wa At-Tahbir li Aqwal Aimmah At-Tafsir.
Abu Hayyan mengutip penjelasan Az-Zamakhsyari dan Ibn Athiyah terutama yang berhubungan dengan masalah nahwu dan ‘irab.  Meskipun banyak yang ditolak dari pendapat Ibn ‘Athiyah ini, akan tetapi harus jujur dikatakan bahwa tafsir Ibn ‘Athiyah telah memberi manfaat besar bagi Abu Hayyan. Ketika Abu Hayyan menukil pendapat Az-Zamakhsyari secara jelas ia menonjolkan sisi ketidaksukaan terhadap paham keMu’tazilahan Az Zamakhsyari. Karena itu ia mengkritik dan menyanggahnya dengan gaya bahasa yang sinis. Dan seringkali ia mengakhiri kutipannya dengan sanggahan, bahkan terkadang pula beliau menyerang Zamakhsyari dengan gencar, walaupun di sisi lain beliau memujinya karena keteramapilan nya yang menonjol dalam menyingkapkan retorika (Balaghah) Qur’an dan kekuatan bayan nya.
  1. Metode Penafsiran
Dalam metode penafsirannya Abu Hayyan menggunakan metode tahlili: yaitu metode penafsiran yang menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan tata urutan mushaf utsmani dengan penjelasan yang cukup terperinci. Model ini perupaya untuk menyajikan pembahasan seluruh segi dan isi dari sebuah atau sekelompok ayat (atau surat). Didalamnya melibatkan kosakata (mufradat), strukutr (gramatika) bahasa, pembahasan linguistik, makna keseluruhan, munasabah, pemanfaatan asbab an-nuzul, dan hadis. Penyimpulan prinsip-prinsip umum serta pemanfaatan pengetahuan lainnya yang dapat membantun pemahaman nash Al-Quran[18].
Adapun uslub pembahasan yang digunakan Abu Hayyan didalam Tafsir menggunakan beberapa langkah sebagai berikut:
a.       Menjelaskan mufradat (kata-kata) pada setiap bagian ayat dalam setiap permulaan surat. Sebagaimana penjelasan Abu Hayyan ketika menerangkan arti iman didalam surat Al-Baqarah ayat 3:

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ:

: الإيمان : التصديق ، وَما أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنا  ، وأصله من الأمن أو الأمانة ، ومعناهما الطمأنينة ، منه : صدقه ، وأمن به : وثق به ، والهمزة في أمن للصيرورة كأعشب ، أو لمطاوعة فعل كأكب ، وضمن معنى الاعتراف أو الوثوق فعدى بالباء ، وهو يتعدى بالباء واللام فَما آمَنَ لِمُوسى  ، والتعدية باللام في ضمنها تعد بالباء ، فهذا فرق ما بين التعديتين.[19]

Begitupun ketika Abu Hayyan menjelaskan secara rinci pembahasan tentang fungsi huruf ba yang terdapat didalam baslamah:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ.  باء الجر تأتي لمعان : للإلصاق ، والاستعانة ، والقسم ، والسبب ، والحال ، والظرفية ، والنقل. فالإلصاق : حقيقة مسحت برأسي ، ومجازا مررت بزيد. والاستعانة : ذبحت بالسكين. والسبب : فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هادُوا حَرَّمْنا. والقسم : باللّه لقد قام. والحال : جاء زيد بثيابه. والظرفية : زيد بالبصرة. والنقل : قمت بزيد. وتأتي زائدة للتوكيد : شربن بماء البحر. والبدل : فليت لي بهم قوما أي بدلهم. والمقابلة : اشتريت الفرس بألف. والمجاوزة : تشقق السماء بالغمام أي عن الغمام. والاستعلاء : من أن تأمنه بقنطار. وكنى بعضهم عن الحال بالمصاحبة ، وزاد فيها كونها للتعليل.[20]


b.      Menjelaskan seputar asbab an-nuzul ayat (surat) jika ada/ayat tersebut diturunkan karena sabab.
c.       Menjelaskan persoalan nasikh mansukh.
d.      Menjelaskan tentang munasabah diantara ayat.
e.       Menyajikan pembahasan seputar qiraat baik itu yang mutawatirah ataupun yang syadz

  1. Corak Penafsiran
Tafsir Al-Bahr Al-Muhith tergolong merupakan kitab tafsir yang lebih menonjolkan sisi-sisi kebahasaan (lughawi). Di dalam kitab tafsir ini, beliau cenderung memperluas perhatiannya untuk menerangkan aspek i’rab dan masalah-masalah nahwu. Saat membahas aspek kebahasaan dalam kitab ini pembaca bisa menilai bahwa penulis merupakan pakar dan sangat ahli dibidangnya. Karena sisi-sisi nahwu pada tafsir ini lebih menonjol dibanding yang lain. Abu Hayyan telah memperbanyak membahas masalah nahwu dan khilafiyah antara ulama dibidang ini, bahkan cenderung memperluasnya karena beliau mengemukakan, mendiskusikan dan memperdebatkan perbedaan pendapat di kalangan ahli nahwu, sehingga kitab ini lebih dekat sebagai representasi dari kitab nahwu dari pada kitab tafsir[21].
Beliau juga mengutip pendapat para ulama dalam masalah-masalah fiqih yang memiliki keterkaitan dengan lafadz-lafadz yang ditafsirkan tersebut, baik dari empat Imam mazhab maupun lainnya, di samping argumen-argumen lain yang terdapat di dalam kitab-kitab fiqih.

C.    Orisinalitas Penafsiran
  1. Ayat-ayat Mutasayabihat
Secara ideologi Abu Hayyan berafiliasi kepada Asya'irah dilihat dari proses penakwilan dalam penjelasan penafsirannya[22] hal ini bisa dilihat dalam beberapa contoh sebagai berikut:

ووصف اللّه تعالى بالرحمة مجاز عن إنعامه على عباده ، ألا ترى أن الملك إذا عطف على رعيته ورق لهم ، أصابهم إحسانه فتكون الرحمة إذ ذاك صفة فعل؟ وقال قوم : هي إرادة الخير لمن أراد اللّه تعالى به ذلك ، فتكون على هذا صفة ذات ، وينبني على هذا الخلاف خلاف آخر ، وهو أن صفات اللّه تعالى الذاتية والفعلية أهي قديمة أم صفات الذات قديمة وصفات الفعل محدثة قولان[23]



Begitupun ketika Abu Hayyan menjelaskan tentang Al-Ahruf Al-Muqaththa'ah ia berusaha untuk menjelaskan secara aspek kebahasaan secara mendalam di perkaya dengan berbagai sir dari berbagai huruf yang dipakai didalam setiap ayat yang dimulai dengan bentuk tersebut. Kemudia iapun berusaha menakwilkan dari setiap hurup-hurup tersebut baik dikuatkan oleh riwayat-riwayat dari para ulama ataupun penafsiran personal. Sebagaimana ia mengakhiri pembahasan dengan mengutip pendapat Ibn Athiyah:

والصواب ما قال الجمهور ، فنفسر هذه الحروف ونلتمس لها التأويل لأنا نجد العرب قد تكلمت بالحروف المقطعة نظما ووضعا بدل الكلمات التي الحروف منها ، كقول الشاعر :  قلت لها قفي فقالت قاف أراد قالت وقفت وكقول القائل : بالخير خيرات وإن شرّفا ولا أريد الشر إلا أن تا أراد وإن شرا فشر ، وأراد إلا أن تشاء : والشواهد في هذا كثيرة فليس كونها في القرآن مما تنكره العرب في لغتها ، فينبغي إذا كان من معهود كلام العرب ، أن يطلب تأويله ويلتمس وجهه ، انتهى كلامه.[24]

  1. Israiliyyat
Berkiatan dengan kisah-kiasah Israiliyat, Abu Hayyan merupakan mufassir yang sangat konsen dalam membatasi periwayatan cerita-cerita tersebut sebagai penjelas didalam penafsirannya. Bahkan ia banyak memberikan peringatan kepada pembacanya dalam berbagai tempat didalam tafsirnya akan bahaya dari riwayat israiliyyat tersebut. Dan iapun secara terang-terangan mengingatkan akan hal tersebut didalam muqaddimah tafsirnya bahwa kebanyakan riwayat israiliyyat adalah kharafat, batil dan tidak sesuai dengan akal yang sehat dan pemikiran yang bersih.[25]
Namun pada realitanya tafsir Abu Hayyan tidak terbebas dari periwayatan israiliyyat dan berbagai riwayat dusta yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw atau kepada para shahabat.[26]. seperti riwayat Abu Hayyan tentang batu Nabi Musa, riwayat dusta yang disandarkan kepada Rasulullah tentang penamaan duabelas bintang yang dilihat oleh Nabi Yusuf, sebagaimana tergelincirnya Az-Zamakhsyari dalam meriwayatkan israiliyyat tentang kisah irm dzat al-'imad [27]. kondisi ini seakan paradoks dengan pernyataan Abu Hayyan didalam muqaddimah tafsirnya yang menyatakan bahwa tafsirnya terbebas dari periwayatan israiliyyat.
Namun dengan fakta tersebut Abu Syahbah mengomentari tentang tafsir Al-Bahr Al-Muhith bahwa tafsir tersebut merupakan salah satu tafsir yang terjaga dan terbilang sedikit dalam meriwayatkan cerita israiliyyat dan berita bohong[28] yang mana sebagian para mufasir melakukan hal tersebut.

BAB III
PENUTUP
Tafsir yang sejatinya merupakan usaha manusia dalam proses memahami dan mengaktualisasikan kalam ilahi supaya bisa mewujud kedalam sebuan pola tingkah laku (akhlak) dan kultur sosial sehingga manusia bisa berjalan dimuka bumi ini dengan tenang sesuai dengan arahan (manhaj) yang sudah digariskan Sang Pencipta kepada makhluknya.
Usaha tersebut sudah dilakukan oleh para ulama mutaqaddimin maupun mutaakhirin dengan berbagai cara (metode), corak dan pendekatan, agar Al-Quran tidak hanya menjadi sebuah teks mati, namun Al-Quran bisa menjadi pedoman hidup dan mampu memecahkan berbagai persoalan hidup yang hadir di berbagai lapisan masyarakat.
Abu Hayyan merupakan mufassir yang hidup pada abad ke 8 H, telah melakukan usaha yang sangat luar biasa dalam proses membumikan Al-Quran. Tafsir al-Bahr al-Muhith yang dikarangnya adalah tafsir dengan corak lughawi-balaghi, yang penekanannya pada kaidah-kaidah nahwu, sharaf, balagah, dan juga Qira’at baik yang Mahsyur maupun yang syadz.
Kesimpulannya tafsir Abu Hayyan lebih banyak didominasi oleh pembahasan sisi nahwu sebagai disiplin Ilmu yang paling dikuasainya mengalahkan sisi-sisi yang lain.


[1] Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Quran: Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, (Bandung: Pustaka Setia, cet. 1, 2013), h.4
[2]  Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis Group, cet. 2, 2012), h. 31
[3]  Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun juz 2, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t), h.225
[4]  Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993), h. 2[5]  http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hayyan_al-Gharnathi. Diakses pada tanggal 17 Mei 2015
[6]  Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 27
[7] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., h. 225
[8] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 33
[9] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., h. 225
[10] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 47
[11] Silahkan lihat selengkapnya: Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993), h. 46-53
[12] Ibid, h. 53
[13] Ibid, h. 45
[14]  Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, 'Ulum Al-Quran min Khilal Muqaddimat At-Tafasir, (Cairo: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2004), h. 12
[15]  Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, cet. 7, 2013). h.220
[16] Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, op. cit., h. 13
[17] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 12-16
[18] Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, op. cit., h. 60-61
[19] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 162
[20] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 123
[21] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., h. 226
[22] Muhammad Ibn ‘Abdurrahman Al-Maghrawi, Al-Mufassirun Baina At-Takwil wa Al-Itsbat fi Ayat As-Sifat, Juz. 2, (Bairut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2000),  
[23] Silahkan lihat selengkapnya: Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993), h. 129
[24] Silahkan lihat selengkapnya pembahasan Abu Hayyan tentang Al-Ahruf Al-Muqaththa'ah: Ibid, h. 154-159
[25]  Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, op. cit., h. 15
[26]  Ibid. h. 140
[27]  Ibid, h. 141
[28]  Muhammad Ibn Muhammad Abu Syahbah, Al-Israiliyyat wa Al-Maudu'at fi Kutub At-Tafsir, (Maktabah As-

Daftar Pustaka:
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis Group, cet. 2, 2012)
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun juz 2, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t)
Muhammad Ibn ‘Abdurrahman Al-Maghrawi, Al-Mufassirun Baina At-Takwil wa Al-Itsbat fi Ayat As-Sifat, Juz. 2, (Bairut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2000)
Muhammad Ibn Muhammad Abu Syahbah, Al-Israiliyyat wa Al-Maudu'at fi Kutub At-Tafsir, (Maktabah As-Sunnah, t.t)
Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Juz 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993),
Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, 'Ulum Al-Quran min Khilal Muqaddimat At-Tafasir, (Cairo: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2004)
Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, cet. 7, 2013)
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. 1, 2013)Sunnah, t.t), h.141

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah yang tidak berhenti, membuktikan bahwa penyakit hanya menggerogoti fisiknya, bukan jiwanya

Pada entri pertama ini, Perpus STAIMA akan mengangkat kisah perjuangan salah seorang mahasiswa STAIMA yang telah melalui masa-masa berat melawan penyakitnya. Semoga kisah ini dapat menginspirasi dan mendatangkan semangat agar kita tidak berputus asa dan terus semangat menghadapi segala kesulitan. Ditemui di Perpustakaan STAI Al-Ma’arif Ciamis (12/01/2019), Rano (20) mahasiswa semester empat Program Studi Manajemen Pendidikan Islam STAI Al-Ma’arif Ciamis bersedia membagi pengalaman dan kekuatannya melalui masa-masa sulit ketika tumor di pembuluh darah menggerogoti tubuhnya di sekitar wajah dan kepala. Tanpa sama sekali merasa keberatan, Rano menceritakan awal mula sakit yang dideritanya sejak dirinya baru lulus dari Madrasah Ibtidaiyah. Itu tahun 2011 usianya baru menginjak 13 tahun, saat Rano tiba-tiba saja mengalami pendarahan dari dalam hidungnya. Jelas bukan mimisan biasa karena darah yang mengucur sulit dihentikan disertai dengan gumpalan-gumpalan cukup besar mi...

ANALISIS DESKRIPTIF TENTANG KOMPETENSI BERBAHASA GURU BAHASA ARAB SAAT MENGAJAR DI SMA NEGERI 1 CIAMIS

  ANALISIS DESKRIPTIF TENTANG KOMPETENSI BERBAHASA GURU BAHASA ARAB SAAT MENGAJAR DI SMA NEGERI 1 CIAMIS               Oleh : Deni Supriadi, S.S, M.A.                 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-MA’ARIF CIAMIS Jl. Umar Saleh Imbanagara Raya Ciamis 46211 Telp./Fax. (0265) 772589 E-mail: stai_almaarif@yahoo.co.id 2020 ANALISIS DESKRIPTIF TENTANG KOMPETENSI BERBAHASA GURU BAHASA ARAB SAAT MENGAJAR DI SMA NEGERI 1 CIAMIS       Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk memperoleh gambaran tentang Analisis Kompetensi Profesional Guru Bahasa Arab saat Mengajar di SMA Negeri 1 Ciamis . Metode yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif dengan jenis deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket. Teknik analisis data   menggunakan analisis deskriptif dalam bentuk tabel frekuensi. Hasil peneliti...