Oleh
H. Ahmad Ridla
Syahida, Lc., M.Ag.
ridla.ars@gmail.com
Dosen Prodi
Pendidikan Bahasa Arab STAI Al-Ma’arif
Ciamis
BAB
I
PENDAHULUAN
Bagi kaum muslimin, Al-Quran
selain dianggap sebagai kitab suci (scripture), ia juga merupakan kitab
petunjuk (QS. Al-Baqarah:2). Oleh karena itu, ia selalu dijadikan rujukan dan
mitra dialog dalam menyelesaikan problem kehidupan yang mereka hadapi. Al-Quran
benar-benar bukan hanya menempati posisi sentral dalam perkembangan ilmu-ilmu
keislaman, melainkan juga menjadi inspirator dan pemandu gerakan dan dinamika
umat islam sepanjang kurang lebih empat belas abad yang lalu. Hingga kini gema
keagungan Al-Quran masih dirasakan pengaruhnya oleh setiap jiwa insan qurani.
Bagaimana sejarah mencatat bahwa
umat islam pada masa awal tidak hanya membaca Al-Quran, tetapi mampu memahami
dan mengkontekstualisasikan Al-Quran kedalam nilai-nilai praktis, menjadi etos
kerja, dan etos berperadaban yang tinggi.Tidaklah salah jika Al-Quran menjadi
salah satu dari sejumlah kecil kitab yang telah memberikan pengarus luas dan
menjadalam terhadap jiwa dan tindalakan manusia.
Al-Quran menjadi satu fenomena
dalam sejarah agama, yaitu dokumen historis yang merefleksikan situasi
hermeneutis dalam sosio-ekonomis, religius, politik masyarakat muslim dan
lainnya. Pada saat yang sama, Al-Quran juga merupakan teks petunjuk dan tata
aturan tindakan bagi berjuta-juta manusia yang ingin hidup dibawah naungannya
dan mencari makna kehidupan didalamnya. Al-Quran membentuk pemikiran mereka dan
mengalir masuk kedalam literatur dan wacana keseharian.[1]
Keinginan umat islam untuk selalu
mendialogkan Al-Quran sebagai teks yang terbatas, dengan problem sosial
kemanusiaan yang tak terbatas merupakan spirit tersendiri bagi dinamika kajian
tafsir Al-Quran. Hal ini karena Al-Quran meskipun turun dimasa lalu, dengan
konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, ia mengandung nilai-nilai
universal yang akan selalu relevan untuk setiap zaman dan tempat (shalihun
likulli zaman wa makan).
Sesuai dengan spirit penafsiran
tersebut para cendikia dan ulama disetiap masa berusaha untuk menggali makna
terdalam yang terkandung didalam Al-Quran agar nilai-nilai luhur ajarannya bisa
disemai oleh setiap insan yang haus akan hidayah Allah Swt.
Oleh karena itu, upaya memahami,
menyingkap dan menjelaskan ayat-ayat Al-Quran secara terus menerus merupakan
keniscayaan bagi kaum muslimin di setiap zaman[2].
Kajian Al-Quran sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang dinamis seiring
dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia. Hal
ini terbukti dengan munculnya karya-karya tafsir, mulai dari yang klasik hingga
kontemporer, dengan berbagai corak, metode dan pendekatan yang digunakan.
Kita bisa menyaksikan bagaimana
begitu menggeliat aktifitas penafsiran dengan lahirnya karya-karya tafsir dari
para ulama yang hidup pada abad ketiga sampai dengan abad ke delapan
hijriah. Sejumlah karya monumental
seperti Tafsir Ath-Thabari (karya Ibn Al-Jarir Ath-Thabari), Al-Muharrar
Al-Wajiz (karya Ibn Athiyah), Tafsir Al-Kasyaf (karya
Az-Zamakhsyari) dan Tafsir Al-Bahr Al-Muhith (karya Abu Hayyan
Al-Andalusi), menunjukan etos dan produktifitas para ulama untuk mengkaji dan
menafsirkan Al-Quran dari zaman ke zaman.
Salah satu tafsir yang mempunyai pengaruh
sangat besar baik dimasanya maupun hingga sekarang yaitu Tafsir Al-Bahr
Al-Muhith, maha karya dari serorang ulama Andalusia yaitu Abu Ḥayyan
al-Gharnathi adalah seorang ulama ahli tafsir Al-Qur'an dan ahli tata bahasa
Arab berasal dari Spanyol Islam yang hidup pada abad ke-8 H/14 M. Pada masanya
kepakarannya dalam bidang tata bahasa
telah mendapat pengakuan hampir secara universal. Ia juga dikenal sebagai ahli
bahasa yang sangat tertarik dengan berbagai bahasa selain bahasa Arab, sehingga
menulis banyak karya tulis baik dalam perbandingan linguistik juga analisis dan
penjabaran tata bahasa dari bahasa asing secara rinci yang ditujukan bagi orang
yang bahasa ibunya berbahasa Arab.
Kepiawaiannnya dalam ilmu-ilmu bahasa
arab: nahwu, sharf dan balaghan memberikan warna khusus didalam
tafsirnya, selain itu ditunjang dengan penguasaan qira'ah mutawatirah dan
qira'ah syadz memposisikan Tafsir Al-Bahr Al-Muhith menjadi salah satu rujukan
utama dalam bidang ilmu qira'at bagi para ulama yang datang sesudahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abu Hayyan
Nama lengkapnya
adalah Atsiruddin Abu 'Abdillah[3] Muhammad
Ibn Yusuf Ibn 'Ali Ibn Yusuf Ibn Hayyan An-Nafzi Al-Andalusi Al-Jayyani
Al-Gharnathi Al-Maghribi Al-Maliki Asy-Syafi'i[4],
yang masyhur dengan sebutan Abu Hayyan. Beliau lahir pada akhir Syawal tahun
654 H/ November 1256 M[5].
Para ulama berbeda pendapat termasuk Ibn As-Subki dan Ibn Al-'Imad dalam menentukan
tempat kelahirannya, apakah ia dilahirkan di kota Jaen, Mathkharisy meskipun pada
hakikatnya kedua kota tersebut sebenarnya berada dibawah kedudukan Granada pada
waktu itu[6].
Di Granada ia dibesarkan di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat yang hidup dalam kepatuhan tinggi terhadap doktrin agama Islam. Di bawah pengawasan ayahnya, al-Andalusi mulai menghafal Al-Qur’an. Setelah itu, ia menashih hafalannya kepada sejumlah ulama semisal Al-Khatib 'Abd Al-Haq Ibn Ali, Al-Khatib Abu Ja’far Ibn Ath-Thibai. kemudian juga ia mematangkan pendalaman Al-Qurannya kepada Al-Hafiz Abu Ali ibn Abu Al-Ahwash. Ia pun banyak menerima berbagai disiplin ilmu dari berbagai ulama Andalusia dan Afrika. Ketika Abu Hayyan mengunjungi Iskandariah ia mempelajari qira'at kepada Abdul Nashir IbnAli Al-Muryuthi, kemudian ketika di Cairo ia belajar kepada 'Ali Abi Thahir Isma'il Ibn 'Abdullah Al-Muliji sehingga Abu Hayyan bisa menguasai dengan sempurna berbagai jenis qira'at baik itu yang shahih maupun yang syadz. Ia pun kemudian ber-mulazamah dengan syaikh Bahauddin Ibn An-Nuhas dan mendapat banyak pengajaran tentang berbagai jenis kitab adab. Ash-Shafadi pun memuji tentang kesungguhan Abu Hanyyan dalam perjuangan kerasnya dalam menuntut ilmu: "Aku tidak melihat Abu Hayyan ada dalam sebuah maejlis ilmu kecuali ia sedang sibuk dan fokus mendengarkan, menulis ataupun sedang membaca sebuah kitab, dan aku tidak melihat selain dari pada kondisi itu"[7]
Dalam rihlah pencarian ilmu nya Abu Hayyan telah banyak berguru kepada para ulama dalam berbagai disiplin ilmu dari berbagai penjuru bumi dan berbagai pelosok Negara. Jalaluddin As-Suyuti[8] menceritakan bahwa Abu Hayyah telah belajar kepada ulama yang berasal dari Andalusia, Afrika, Iskandariah, Mesir, Syam, Hijaz. ia berguru kepada tak kurang dari 450 ulama dan entah berapa banyak gurunya yang telah mengijazahkan berbagai ilmu kepadanya[9]. Sebagian ulama yang menjadi gurunya diantarannya adalah:
Di Granada ia dibesarkan di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat yang hidup dalam kepatuhan tinggi terhadap doktrin agama Islam. Di bawah pengawasan ayahnya, al-Andalusi mulai menghafal Al-Qur’an. Setelah itu, ia menashih hafalannya kepada sejumlah ulama semisal Al-Khatib 'Abd Al-Haq Ibn Ali, Al-Khatib Abu Ja’far Ibn Ath-Thibai. kemudian juga ia mematangkan pendalaman Al-Qurannya kepada Al-Hafiz Abu Ali ibn Abu Al-Ahwash. Ia pun banyak menerima berbagai disiplin ilmu dari berbagai ulama Andalusia dan Afrika. Ketika Abu Hayyan mengunjungi Iskandariah ia mempelajari qira'at kepada Abdul Nashir IbnAli Al-Muryuthi, kemudian ketika di Cairo ia belajar kepada 'Ali Abi Thahir Isma'il Ibn 'Abdullah Al-Muliji sehingga Abu Hayyan bisa menguasai dengan sempurna berbagai jenis qira'at baik itu yang shahih maupun yang syadz. Ia pun kemudian ber-mulazamah dengan syaikh Bahauddin Ibn An-Nuhas dan mendapat banyak pengajaran tentang berbagai jenis kitab adab. Ash-Shafadi pun memuji tentang kesungguhan Abu Hanyyan dalam perjuangan kerasnya dalam menuntut ilmu: "Aku tidak melihat Abu Hayyan ada dalam sebuah maejlis ilmu kecuali ia sedang sibuk dan fokus mendengarkan, menulis ataupun sedang membaca sebuah kitab, dan aku tidak melihat selain dari pada kondisi itu"[7]
Dalam rihlah pencarian ilmu nya Abu Hayyan telah banyak berguru kepada para ulama dalam berbagai disiplin ilmu dari berbagai penjuru bumi dan berbagai pelosok Negara. Jalaluddin As-Suyuti[8] menceritakan bahwa Abu Hayyah telah belajar kepada ulama yang berasal dari Andalusia, Afrika, Iskandariah, Mesir, Syam, Hijaz. ia berguru kepada tak kurang dari 450 ulama dan entah berapa banyak gurunya yang telah mengijazahkan berbagai ilmu kepadanya[9]. Sebagian ulama yang menjadi gurunya diantarannya adalah:
1.
Ahmad Ibn Ibrahim Ibn Az-Zubair Ats-Tsaqafi Al-'Ashimi
Al-Garnathi, pengarang kirab Milak At-Ta'wil Al-Qathi Bidzawi Al-Ilhad wa
At-ta'thil fi taujih Al-Mutasyabih Al-Lafdz min Ayi At-Tanjil
2. Al-Husain Ibn 'Abd Al-'Aziz Muhammad Ibn 'Abd Al'Aziz
2. Al-Husain Ibn 'Abd Al-'Aziz Muhammad Ibn 'Abd Al'Aziz
3.
'Ali Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn 'Abd Ar-Rahim
Al-Khasyini Al-Abadzi Abu Al-Hasan
4.
Muhammad Ibn 'Ali Ibn Yusuf Abu 'Abdillah Al-Anshari
Asy-Syathibi
5.
Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Abi Nashr Abu
'Abdillah Bahauddin An-Nuhas
6.
Muhammad Ibn Mushthafa Ibn Zakaria Ibn Khawaja Ibn
Hasan Ad-Daruki Ash-Shalghari
7.
Ahmad Ibn 'Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn 'Isa Ibn
'Iyasy Abu Ja'far Ibn Ath-Thiba' Ar-Ra'ini Al-Garnathi
8.
Ahmad Ibn Yusuf Ibn 'Ali Ibn Yusuf Al-Fahri Al-Layali
9.
'Abd Al-Haq Ibn 'Ali Ibn 'Abdullah Ibn Muhammad Ibn
'Abd Al-Mulk Abu Muhammad Al-Garnathi
Dan masih banyak lagi
para ulama yang menjadi lumbung ilmu Abu Hayyan dalam memperdalah khazanah
keilmuannya diberbagai bidang disiplin ilmu sehingga ia menjadi salah satu
tokoh ilmuan islam sekaligus seorang mufassir yang banyak menyumbangkan
gagasan dan penafsiran baru dalam mengungkap luasnya samudra kalam
ilahi.
Begitupun tidak sedikit orang-orang yang menimba ilmu kepadanya, datang dari berbagai golongan baik tua maupun muda mereka berbondong-bondong ber-istifadah darinya. Sehingga dari rahim intelektualnya lahirnya berbagai cendikiawan yang menjadi para ahli dimasanya. Ibn Al-Jazari meriwatkan bahwa ketika Abu Hayyan menetap di Mesir dan mencurahkan ilmunya dengan memberikan pengajaran baik melalui pena maupun ceramah disanalah masa proses transfer ilmu kepada murid-muridnya[10]. Diantara sebagian muridnya adalah:
Begitupun tidak sedikit orang-orang yang menimba ilmu kepadanya, datang dari berbagai golongan baik tua maupun muda mereka berbondong-bondong ber-istifadah darinya. Sehingga dari rahim intelektualnya lahirnya berbagai cendikiawan yang menjadi para ahli dimasanya. Ibn Al-Jazari meriwatkan bahwa ketika Abu Hayyan menetap di Mesir dan mencurahkan ilmunya dengan memberikan pengajaran baik melalui pena maupun ceramah disanalah masa proses transfer ilmu kepada murid-muridnya[10]. Diantara sebagian muridnya adalah:
1.
'Ali Ibn 'Abd Al-Kafi Ibn 'Ali Ibn Tamam Ibn Yusuf Ibn
Musa Ibn Salim As-Subki Taqiyuddin Abu Al-Hasan
2.
Ahmad Ibn 'Ali
'Abd Al-Kafi Ibn 'Ali Ibn Tama As-Subki
3.
Muhammad Ibn 'Abd Al-Bar Ibn Yahya Ibn 'Ali Ibn Tamam
Bahauddin Abu Al-Baqa As-Subki
4.
Ahmad Ibn Yusuf Ibn 'abd Ad-Daim Ibn Muhammad Al-Halabi
5.
'Abdullah Ibn 'Abdurrahman Ibn 'Abdullah Ibn Muhammad
Ibn Muhammad Ibn 'Aqil
6.
Muhammad Ibn Ahmad IBn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi
Bakr Ibn Marzuq Abu 'Abdullah At-Tilmisani
7.
Ahmad Ibn 'Abd Al-Qadir Ibn Ahmad Ibn Maktum Ibn Ahad
Ibn Muhammad Ibn Salim Ibn Muhammad Al-Qisi
8.
Muhammad Ibn Yusud Ibn Ahmad Ibn 'Abd Ad-Daim Al-Halabi
9.
Al-Hasan Ibn Qasim Ibn 'Abdullah Ibn 'Ali Al-Muradi
Al-Misri
10. Muhammad
Ibn Muhammad Ibn 'Ali Ibn 'Abd Ar-Razaq Al-Gumari
Dan masih banyak lagi
selain daripara murid-murid Abu Hayyan tersebut. Tidak kurang dari 50 ulama
yang tercatat sebagai muridnya[11] ,
Ibn As-Subki bahkan mengomentari bahwa mayoritas para pelajar pada masanya
lahir dari rahim intelektualnya.[12]
Adapun karya yang telah dihasilkan Abu Hayyan semasa hidupnya sangat banyak yang tersebar baik semasa hidupnya maupun selepas kepergiannya ke rahmatullah. Tidak kurang dari 50 karya dalam berbagai bidang disiplin ilmu ia torehkan, diantara karya terbaik nya adalah:
Adapun karya yang telah dihasilkan Abu Hayyan semasa hidupnya sangat banyak yang tersebar baik semasa hidupnya maupun selepas kepergiannya ke rahmatullah. Tidak kurang dari 50 karya dalam berbagai bidang disiplin ilmu ia torehkan, diantara karya terbaik nya adalah:
1.
Bidang Tafsir seperti: Tafsir Al-Bahr Al-Muhith,
dan Nahr Al-Mad (ringkasan Abu Hayyan dari Tafsir Al-Bahr Al-Muhith)
2.
Bidang Qiraat seperti: 'Aqd Al-Lali fi Qiraat
As-Sab' Al-'Awali, Al-Halil Al-Haliyah fi Asanid Al-Qiraat Al-Aliah, Taqrib
Al-Naiy fi Qiraat Al Kisai. Dan banyak lagi, terdapat 11 kitab kesemuanya
dalam bidang qiraat.
3.
Bidang Fiqh seperti: Al-Wahaj fi Ikhtisar
Al-Minhaj, Al-Anwar Al-Ajali fi Ikhtisar Al-Muhalla, Masail Ar-Rusyd fi Tajrid
Masail Nihayah Ibn Rasd, tetapi tidak sempat terselesaikan, dan Al-I'lam
bi Arkan Islam.
4.
Bidang Bahasa seperti: Itihaf Al-Arib bima fi
Al-Quran min Al-Gharib, Irtidha fi Al-Farq baina Dhad wa Zho, Al-Idrak Al-Lisan
Al-Atrak. Dan masih banyak lagi kitab-kitabnya dalam bidang ini semuanya
berjumlah 8 buah kitab.
5.
Bidang Nahwu seperti: At-Tazkirah, As-Syaz fi
Masalah Kaza, Al-Syadzarah, dan Ghoyah Al-Ihsan fi Ilm Al-Lisan. Dan masih
banyak lagi kitab-kitabnya dalam bidang ini semuanya berjumlah 21 buah kitab.
Dalam perjalanan pengembaraannya Abu Hayyan menetap di Mesir hingga wafat
tahun 745 H/1344 M (Berusia ± 87-88 Tahun). Ia selalu dikenang sejarah karena karakternya
yang menawan. Al-Adfawi, teman seperjalannya, mengisahkan hal ini, “Ia
seorang yang adil, jujur, dan selamat akidahnya dari serangkaian bid’ah
filsafat, muktazilah, tajsim. Ia sangat khusyu’. Sering ia menangis ketika
membaca Al-Qur’an. Perawakannya berbadan tinggi, tampan, berkulit putih
kemerah-merahan, rambutnya panjang dan tertata rapi.”[13]
B. Seputar Tafsir Al-Bahr Al-Muhith
Sepanjang perjalanan hidupnya, Abu
Hayyan sangat bercita-cita untuk menulis sebuah kitab Tafsir. Maka ketika ia menjadi
guru tafsir di Madrasah Qubah Sultan Malik Mansur pada usia 57 tahun, tepatnya
pada tahun 710 H[14],
mulailah ia merealisasikan keinginanannya tersebut. Dan proses penulisan tafsir
al-Bahr al-Muhith merupakan fase akhir dari penulisan karyanya.
- Sumber Penafsiran
Secara global sumber penafsiran
yang digunakan oleh Abu Hayyan didalam Al-Bahr Al-Muhith menggunakan bi
ar-ra'yi, yaitu suatu penafsiran yang penjelasannya diambil berdasarkan
ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa arab
serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran seperti
asbab an-nuzul, nasikh mansukh dan sebagainya[15].
Namun dalam perjalanannya iapun
mengikuti manhaj yang biasa dipakai oleh para pelopor dari kalangan para
ulama Andalusia, yaitu bersandar kepada riwayat dengan ditopang rasio
dengan syarat dan ketentuan tidak tunduk kepada hawa dan subjektifitas buta,
kemudian penafsiran tersebut harus tetap bersandar kepada pendapat para ulama
yang berlandaskan ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa dan usul fiqh[16].
Jika kita teliti secara
seksama dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhith maka kita akan mendapat suatu
kesimpulan secara jelas bahwa Abu Hayyan terpengaruhi didalam penafsirannya
oleh para mufassir sebelumnya, hal ini nampak sekali didalam muqaddimah
tafsirnya. Abu Hayyan membuat pembahasan khusus tentang kedua tokoh yang
mempunyai pengaruh besar dalam analilis penafsirannya[17].
Dimana ia mengambil sumber dalam penafsirannya dari pendahulunya diantaranya
yang paling dominan adalah Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasyafnya, dan Ibn
'Athiyah dalam Al-Muharrar Al-Wajiznya, selain itupun Abu Hayyan iapun
mengambil rujukan didalam penafsirannya dari gurunya yang terkenal dengan Ibn
An-Naqib didalam kitab nya At-Tahrir wa At-Tahbir li Aqwal Aimmah At-Tafsir.
Abu Hayyan mengutip
penjelasan Az-Zamakhsyari dan Ibn Athiyah terutama yang berhubungan dengan
masalah nahwu dan ‘irab. Meskipun banyak yang ditolak dari
pendapat Ibn ‘Athiyah ini, akan tetapi harus jujur dikatakan bahwa tafsir Ibn
‘Athiyah telah memberi manfaat besar bagi Abu Hayyan. Ketika Abu Hayyan menukil
pendapat Az-Zamakhsyari secara jelas ia menonjolkan sisi ketidaksukaan terhadap
paham keMu’tazilahan Az Zamakhsyari. Karena itu ia mengkritik dan menyanggahnya
dengan gaya bahasa yang sinis. Dan seringkali ia mengakhiri kutipannya dengan
sanggahan, bahkan terkadang pula beliau menyerang Zamakhsyari dengan gencar,
walaupun di sisi lain beliau memujinya karena keteramapilan nya yang menonjol
dalam menyingkapkan retorika (Balaghah) Qur’an dan kekuatan bayan
nya.
- Metode Penafsiran
Dalam metode penafsirannya Abu
Hayyan menggunakan metode tahlili: yaitu metode penafsiran yang
menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan tata urutan mushaf
utsmani dengan penjelasan yang cukup terperinci. Model ini perupaya untuk
menyajikan pembahasan seluruh segi dan isi dari sebuah atau sekelompok ayat
(atau surat). Didalamnya melibatkan kosakata (mufradat), strukutr
(gramatika) bahasa, pembahasan linguistik, makna keseluruhan, munasabah,
pemanfaatan asbab an-nuzul, dan hadis. Penyimpulan prinsip-prinsip umum serta
pemanfaatan pengetahuan lainnya yang dapat membantun pemahaman nash Al-Quran[18].
Adapun uslub
pembahasan yang digunakan Abu Hayyan didalam Tafsir menggunakan beberapa
langkah sebagai berikut:
a.
Menjelaskan mufradat (kata-kata) pada setiap
bagian ayat dalam setiap permulaan surat. Sebagaimana penjelasan Abu Hayyan
ketika menerangkan arti iman didalam surat Al-Baqarah ayat 3:
الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ
يُنْفِقُونَ:
: الإيمان : التصديق ،
وَما أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنا ، وأصله من
الأمن أو الأمانة ، ومعناهما الطمأنينة ، منه : صدقه ، وأمن به : وثق به ، والهمزة
في أمن للصيرورة كأعشب ، أو لمطاوعة فعل كأكب ، وضمن معنى الاعتراف أو الوثوق فعدى
بالباء ، وهو يتعدى بالباء واللام فَما آمَنَ لِمُوسى ، والتعدية باللام في ضمنها تعد بالباء ، فهذا
فرق ما بين التعديتين.[19]
Begitupun ketika Abu
Hayyan menjelaskan secara rinci pembahasan tentang fungsi huruf ba yang
terdapat didalam baslamah:
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. باء الجر تأتي لمعان : للإلصاق ، والاستعانة ،
والقسم ، والسبب ، والحال ، والظرفية ، والنقل. فالإلصاق : حقيقة مسحت برأسي ،
ومجازا مررت بزيد. والاستعانة : ذبحت بالسكين. والسبب : فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ
هادُوا حَرَّمْنا. والقسم : باللّه لقد قام. والحال : جاء زيد بثيابه. والظرفية :
زيد بالبصرة. والنقل : قمت بزيد. وتأتي زائدة للتوكيد : شربن بماء البحر. والبدل :
فليت لي بهم قوما أي بدلهم. والمقابلة : اشتريت الفرس بألف. والمجاوزة : تشقق السماء
بالغمام أي عن الغمام. والاستعلاء : من أن تأمنه بقنطار. وكنى بعضهم عن الحال
بالمصاحبة ، وزاد فيها كونها للتعليل.[20]
b.
Menjelaskan seputar asbab an-nuzul ayat (surat)
jika ada/ayat tersebut diturunkan karena sabab.
c.
Menjelaskan persoalan nasikh mansukh.
d.
Menjelaskan tentang munasabah diantara ayat.
e.
Menyajikan pembahasan seputar qiraat baik itu
yang mutawatirah ataupun yang syadz
- Corak Penafsiran
Tafsir Al-Bahr Al-Muhith
tergolong merupakan kitab tafsir yang lebih menonjolkan sisi-sisi kebahasaan (lughawi).
Di dalam kitab tafsir ini, beliau cenderung memperluas perhatiannya untuk
menerangkan aspek i’rab dan masalah-masalah nahwu. Saat membahas aspek
kebahasaan dalam kitab ini pembaca bisa menilai bahwa penulis merupakan pakar
dan sangat ahli dibidangnya. Karena sisi-sisi nahwu pada tafsir ini lebih
menonjol dibanding yang lain. Abu Hayyan telah memperbanyak membahas masalah
nahwu dan khilafiyah antara ulama dibidang ini, bahkan cenderung memperluasnya
karena beliau mengemukakan, mendiskusikan dan memperdebatkan perbedaan pendapat
di kalangan ahli nahwu, sehingga kitab ini lebih dekat sebagai representasi
dari kitab nahwu dari pada kitab tafsir[21].
Beliau juga mengutip
pendapat para ulama dalam masalah-masalah fiqih yang memiliki keterkaitan
dengan lafadz-lafadz yang ditafsirkan tersebut, baik dari empat Imam mazhab
maupun lainnya, di samping argumen-argumen lain yang terdapat di dalam
kitab-kitab fiqih.
C. Orisinalitas Penafsiran
- Ayat-ayat Mutasayabihat
Secara ideologi
Abu Hayyan berafiliasi kepada Asya'irah dilihat dari proses penakwilan dalam
penjelasan penafsirannya[22]
hal ini bisa dilihat dalam beberapa contoh sebagai berikut:
ووصف اللّه
تعالى بالرحمة مجاز عن إنعامه على عباده ، ألا ترى أن الملك إذا عطف على رعيته ورق
لهم ، أصابهم إحسانه فتكون الرحمة إذ ذاك صفة فعل؟ وقال قوم : هي إرادة الخير لمن
أراد اللّه تعالى به ذلك ، فتكون على هذا صفة ذات ، وينبني على هذا الخلاف خلاف
آخر ، وهو أن صفات اللّه تعالى الذاتية والفعلية أهي قديمة أم صفات الذات قديمة
وصفات الفعل محدثة قولان[23]
Begitupun ketika Abu Hayyan menjelaskan tentang
Al-Ahruf Al-Muqaththa'ah ia berusaha untuk menjelaskan secara aspek kebahasaan
secara mendalam di perkaya dengan berbagai sir dari berbagai huruf yang
dipakai didalam setiap ayat yang dimulai dengan bentuk tersebut. Kemudia iapun
berusaha menakwilkan dari setiap hurup-hurup tersebut baik dikuatkan oleh
riwayat-riwayat dari para ulama ataupun penafsiran personal. Sebagaimana ia
mengakhiri pembahasan dengan mengutip pendapat Ibn Athiyah:
والصواب ما
قال الجمهور ، فنفسر هذه الحروف ونلتمس لها التأويل لأنا نجد العرب قد تكلمت
بالحروف المقطعة نظما ووضعا بدل الكلمات التي الحروف منها ، كقول الشاعر : قلت لها قفي فقالت قاف أراد قالت وقفت وكقول
القائل : بالخير خيرات وإن شرّفا ولا أريد الشر إلا أن تا أراد وإن شرا فشر ،
وأراد إلا أن تشاء : والشواهد في هذا كثيرة فليس كونها في القرآن مما تنكره العرب
في لغتها ، فينبغي إذا كان من معهود كلام العرب ، أن يطلب تأويله ويلتمس وجهه ،
انتهى كلامه.[24]
- Israiliyyat
Berkiatan
dengan kisah-kiasah Israiliyat, Abu Hayyan merupakan mufassir yang sangat
konsen dalam membatasi periwayatan cerita-cerita tersebut sebagai penjelas
didalam penafsirannya. Bahkan ia banyak memberikan peringatan kepada pembacanya
dalam berbagai tempat didalam tafsirnya akan bahaya dari riwayat israiliyyat
tersebut. Dan iapun secara terang-terangan mengingatkan akan hal tersebut
didalam muqaddimah tafsirnya bahwa kebanyakan riwayat israiliyyat adalah
kharafat, batil dan tidak sesuai dengan akal yang sehat dan pemikiran yang
bersih.[25]
Namun
pada realitanya tafsir Abu Hayyan tidak terbebas dari periwayatan israiliyyat
dan berbagai riwayat dusta yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw atau kepada
para shahabat.[26].
seperti riwayat Abu Hayyan tentang batu Nabi Musa, riwayat dusta yang
disandarkan kepada Rasulullah tentang penamaan duabelas bintang yang dilihat
oleh Nabi Yusuf, sebagaimana tergelincirnya Az-Zamakhsyari dalam meriwayatkan
israiliyyat tentang kisah irm dzat al-'imad [27].
kondisi ini seakan paradoks dengan pernyataan Abu Hayyan didalam muqaddimah
tafsirnya yang menyatakan bahwa tafsirnya terbebas dari periwayatan
israiliyyat.
Namun
dengan fakta tersebut Abu Syahbah mengomentari tentang tafsir Al-Bahr
Al-Muhith bahwa tafsir tersebut merupakan salah satu tafsir yang terjaga
dan terbilang sedikit dalam meriwayatkan cerita israiliyyat dan berita bohong[28]
yang mana sebagian para mufasir melakukan hal tersebut.
BAB III
PENUTUP
Tafsir yang sejatinya merupakan
usaha manusia dalam proses memahami dan mengaktualisasikan kalam ilahi
supaya bisa mewujud kedalam sebuan pola tingkah laku (akhlak) dan kultur sosial
sehingga manusia bisa berjalan dimuka bumi ini dengan tenang sesuai dengan
arahan (manhaj) yang sudah digariskan Sang Pencipta kepada makhluknya.
Usaha tersebut sudah
dilakukan oleh para ulama mutaqaddimin maupun mutaakhirin dengan
berbagai cara (metode), corak dan pendekatan, agar Al-Quran tidak hanya menjadi
sebuah teks mati, namun Al-Quran bisa menjadi pedoman hidup dan mampu
memecahkan berbagai persoalan hidup yang hadir di berbagai lapisan masyarakat.
Abu Hayyan merupakan
mufassir yang hidup pada abad ke 8 H, telah melakukan usaha yang sangat luar
biasa dalam proses membumikan Al-Quran. Tafsir al-Bahr al-Muhith yang
dikarangnya adalah tafsir dengan corak lughawi-balaghi, yang
penekanannya pada kaidah-kaidah nahwu, sharaf, balagah,
dan juga Qira’at baik yang Mahsyur maupun yang syadz.
Kesimpulannya tafsir Abu
Hayyan lebih banyak didominasi oleh pembahasan sisi nahwu sebagai disiplin Ilmu
yang paling dikuasainya mengalahkan sisi-sisi yang lain.
[1] Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Quran: Strukturalisme, Semantik, Semiotik dan Hermeneutik, (Bandung: Pustaka Setia, cet. 1, 2013), h.4
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis Group, cet. 2, 2012), h. 31
[3] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun juz 2, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t), h.225
[4] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993), h. 2[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hayyan_al-Gharnathi. Diakses pada tanggal 17 Mei 2015
[6] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 27
[7] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., h. 225
[8] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 33
[9] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., h. 225
[10] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 47
[11] Silahkan lihat selengkapnya: Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993), h. 46-53
[12] Ibid, h. 53
[13] Ibid, h. 45
[14] Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, 'Ulum Al-Quran min Khilal Muqaddimat At-Tafasir, (Cairo: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2004), h. 12
[15] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, cet. 7, 2013). h.220
[16] Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, op. cit., h. 13
[17] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 12-16
[18] Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, op. cit., h. 60-61
[19] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 162
[20] Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, op. cit., h. 123
[21] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., h. 226
[22] Muhammad Ibn ‘Abdurrahman Al-Maghrawi, Al-Mufassirun Baina At-Takwil wa Al-Itsbat fi Ayat As-Sifat, Juz. 2, (Bairut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2000),
[23] Silahkan lihat selengkapnya: Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993), h. 129
[24] Silahkan lihat selengkapnya pembahasan Abu Hayyan tentang Al-Ahruf Al-Muqaththa'ah: Ibid, h. 154-159
[25] Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, op. cit., h. 15
[28] Muhammad Ibn Muhammad Abu Syahbah, Al-Israiliyyat wa Al-Maudu'at fi Kutub At-Tafsir, (Maktabah As-
Daftar Pustaka:
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir
Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis Group, cet. 2, 2012)
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa
Al-Mufassirun juz 2, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t)
Muhammad Ibn ‘Abdurrahman Al-Maghrawi, Al-Mufassirun Baina At-Takwil
wa Al-Itsbat fi Ayat As-Sifat, Juz. 2, (Bairut: Muassasah Ar-Risalah, cet.
1, 2000)
Muhammad Ibn Muhammad Abu Syahbah, Al-Israiliyyat
wa Al-Maudu'at fi Kutub At-Tafsir, (Maktabah As-Sunnah, t.t)
Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayyan, Tafsir Al-Bahr
Al-Muhith, Juz 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1993),
Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, 'Ulum
Al-Quran min Khilal Muqaddimat At-Tafasir, (Cairo: Muassasah Ar-Risalah,
cet. 1, 2004)
Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung:
Pustaka Setia, cet. 7, 2013)
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Quran,
(Bandung: Pustaka Setia, Cet. 1, 2013)Sunnah, t.t), h.141
Komentar
Posting Komentar