Oleh
H. Ahmad Ridla
Syahida, Lc., M.Ag
ridla.ars@gmail.com
ridla.ars@gmail.com
Dosen Prodi
Pendidikan Bahasa Arab STAI Al-Ma’arif
Ciamis
I. Prolog
Sejatinya islam dengan ajaran yang
terkadung didalamnya menjadi solusi konkrit didalam membangun sebuah stabilitas
sosial sehingga terwujud sebuah komunitas yang mapan dalam berbagai aspek
kehidupan. Sumber ajaran islam yaitu kitab suci Al-Quran inilah yang menjadi
dasar bangunan agama yang didalamnya tercakup berbagai solusi praktis yang
dapat memecahkan berbagai problematika hidup dengan langkah-langkah yang
sistematis dan akurat. Seakan-akan Al-Quran menjadi obat mujarab yang mampu
memberikan kesembuhan disetiap penyakit sosial yang muncul, berkembang lalu
mengakar di sendi-sendi kehidupan sehingga penyakit tersebut menjadi akut dan
sulit dihilangkan
Salah satu penyakit sosial yang
menjadi fenomena dikalangan masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun di
setiap belahan dunia adalah mewabahnya khamr atau istilah lain yang
lebih akrab di telinga masyarakat Indonesia yaitu miras (minuman keras) dengan
berbagai jenis dan nama yang disematkan padanya. Contohnya baik dari golongan A
yang berkadar alkohol 01% s.d. 05% seperti Bir Bintang, Angker, dll; Golongan B
yang berkadar alkohol 05% s.d. 20% seperti Anggur, Ginzano, dll; Golongan C
yang berkadar alkohol 20% s.d. 50% seperti Brandy, Wisky, Jenever, Joni Walker,
Vodka, dll. [1]
Regulasi pelarangan dan peredaran
miras di Indonesia belum menemukan titik terang, hal ini melihat perhatian
pemerintah yang dinilai tidak serius menghadapi persoalan miras, pemerintah
hanya berusaha mengatur tentang peredaran dan perdagangan miras dikalangan
masyarakat, bukan aturan tentang pelarangan secara mutlak. Baru-baru ini
kementrian perdagangan mengeluarkan peraturan tentang larangan penjualan dan peredaran
minuman beralkohol alias bir golongan A atau yang berkadar alkohol dibawah lima
persen di mini market seluruh Indonesia.
Namun peraturan tersebut pada
realitanya tidak mampu mencegah masyarakat dari mengkonsumsi miras dengan berbagai
jenisnya. Hal ini terbukti dengan munculnya fenomena menarik yang menghiasi
media nasional baru-baru ini yaitu hadirnya miras oplosan yang secara efek jauh
lebih berbahaya dibandingkan miras yang beredar dipasaran. Sehingga secara
mengejutkan dampak dari kondisi tersebut yaitu memakan korban di berbagai
daerah khususnya jawabarat; Garut dan Sumedang, hal serupa juga terjadi di
Jakarta dan bogor.
Secara historis Khamr
bukanlah barang baru bagi peradaban manusia, ia hadir berabad-abad sebelum
kedatangan islam, ia masuk kedalam sendi-sendi kehidupan dan tidak bisa lepas
dari keseharian, bahkan ia menjadi suatu kebutuhan primer bagi sebagian
golongan, mereka menggandengkan khamr dengan bermain perempuan dan
berjudi. Kondisi ini yang kelak akan menjadi penyakit berbahaya yang lambat
laun akan merusak stabilitas sosial, karena dari khamr inilah berbagai
tindakan kriminalpun muncul; disebabkan hilangnya kesadaran dan kontrol diri (hilang
akal) maka ia akan lebih mudah melakukan berbagai hal yang ia inginkan termasuk
perbuatan yang dilarang agama; pencurian, perzinahan bahkan pembunuhan,
disinyalir khamr-lah yang menjadi dalang dibalik tindakan kriminal
tersebut.
Hal ini menjadi bukti atas sabda
Rasulullah Saw:
Khamr adalah pangkal dari segala bentuk kejahatan
Fitrah manusia untuk beribadah
kepada Allah menuntutnya untuk selalu berusaha menjaga diri dari berbagai hal
yang dapat mengotori tujuan utama manusia diciptakan. Tidak bisa dipungkiri
juga bahwa khamr dengan segala yang terkandung didalamnya mempunyai
unsur yang dapat menghancurkan potensi manusia tersebut. Hal inilah sebenarnya
yang terjadi ketika malam Rasulullah Saw di isra-kan dari Bait
Al-Haram ke Bait Al-Maqdis mendatangi sebuah kota yang bernama iliya
lalu di sajikan kepadanya dua gelas minuman: khamr (miras) dan susu.
Beliaupun melihat keduanya, lalu mengambil susu. Jibril berkata: "segala
puji bagi Allah yang telah menunjuki engkau kepada fitrah. Seandainya engkau
mengambil khamr, niscara binasalah umatmu."[3]
Jika dilihat Khamr sudah menjadi
salah satu sajian istimewa bagi sebagian bangsa arab, tidak terkecuali bagi
kaum Jahiliyah termasuk di dalamnya suku Quraisy dimana Nabi terakhir di utus,
mereka adalah pencandu khamr yang dikesehariannya tidak bisa lepas
darinya, namun Allah Swt melihat kondisi tersebut tidak serta merta langsung
merubahnya dengan menurunkan syariat pelarangan dan pengharamnnya secara sekaligus,
akan tetapi melalui serangkaian proses yang panjang dan melalui beberapa fase,
hal ini merupakan perwujudan dari At-Takrim yang Allah swt karuniakan
kepada ummat islam sebagai generasi akhir zaman.
Kalau sekiranya syariat
dalam pengharaman khamr ini datang secara sekaligus tanpa ada
pendahuluan dalam penetapannya, niscaya bangsa arab yang ada pada waktu itu
tidak akan banyak yang meninggalkan dari kebiasaan meminum khamr bahkan
mungkin mereka akan serentak berkata: Kami sekali-kali tidak akan
meninggalkan khamr, hal ini tidaklah heran melihat dari akutnya kebiasaan
yang mereka lakukan karena khamr sudah mendarah daging dalam keseharian
mereka, maka syariat datang secara bertahap sebagai jawaban dalam proses
pengobatan tabiat yang mereka miliki agar terbebas dari penyakit dan kebiasaan
buruk ini.
Disini tampaklah Al-Manhaj
As-Siyasah At-Tarbiyah dalam Al-Quran yang penuh dengan kebijaksanaan, hal
ini berbeda apabila perintah atau larangan yang berhubungan dengan
kaidah-kaidah At-Tashawwur Al-Imani, atau masalah yang menyangkut dengan
i'tiqadiyah (tauhid dan syirik) maka
islam menetapkan keputusan dan hukum secara jelas, tegas, tanpa basa-basi dan
pasti (qath'i) sejak awal pentasyri'-annya, karena masalah ini
menyangkut aqidah yang sangat
fundamental dan menjadi pondasi keisalaman seseorang, tanpanya maka amal
akan tiada artinya.
Akan tetapi bila syariat itu
berhubungan dengan masalah 'adat/kebiasaan dan tradisi atau
masalah-masalah sosial kemasyarakatan maka ini harus diluruskan, oleh karena
itu islam datang dengan melakukan metode gradual, menangani masalah ini
dengan cara penuh kelembutan dan bertahap, dari mulai pemberlakuan hukum yang
paling ringan hingga akhirnya keputusan yang paling berat dengan menyediakan
kodisi rill yang memudahkan mereka melaksanakan syariat tersebut dan
kelak bisa mena'atinya dengan penuh kesadaran. Maka dimulailah dengan
menggerakan rasa keagamaan dan logika tasyi' didalam jiwa kaum muslimin bahwa dosa khamr
itu lebih besar dari pada manfaatnya. Hal ini merupakan pengarahan bahwa
meninggalkannya itu adalah lebih utama.[4]
II. Definisi Khamr
a. Etimologi
Imam Al-Qurtubi mendefinisikan khamr
secara bahasa yaitu kata yang diambil dari (خَمَرَ)yang mempunyai makna (سَتَرَ) yaitu menutupi. Bisa juga diambil dari
kata (خِمَارٌ المَرْأَة) yaitu cadar yang menutupi wajah perempuan, maka setiap benda
yang menutupi sesuatu bisa disebut khamr.
خَمِّرُوا أَنِيَتَكم...!)) Tutupilah bejana kalian, Sebagian ulama berpendapat
kenapa disebut خمر karena ia يُخَالِط العقل yaitu membuat akal
bercampur aduk dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, المُخَامَرة bermakna المُخالطة yaitu bercampur. [5]
Maka jelaskan kenapa disebut dengan
khamr, karena khamr dapat menutup akal sehat dan mematikan hati nurani
sehingga yang mengkonsumsinya kehilangan kesadarannya.
Dari pengambilan kata diatas dapat
disimpulkan bahwa khamr secara bahasa adalah setiap benda yang bisa
menutupi dan menghalangi.
b. Terminologi
Para ulama memasukan khamr
kedalam bagian dari kajian kitab-kitab mereka, sebagiannya memberi nama dengan
sebutan –الأَشْرِبَة- yaitu bentuk plural dari kata شَرَابٌ yang bermakna: minuman.
Para ulama berbeda pendapat dalam
menjelaskan apa yang dimaksud dengan khamr;
Pendapat pertama; menurut Imam Abu Hanifah dan ulama yang
sepakat denganya diantaranya; Ibrahim al-Nakha'i, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ibn
Abi Laila berpendapat bahwa khamr adalah minuman memabukan yang diambil
dari perasan anggur, adapun minuman yang memabukan dari selainya seperti hasil
perasan dari kurma, biji gandum, beras, jagung dan selainnya maka itu tidak di
sebut dengan khamr, akan tetapi dikategorikan kedalam istilah lain,
yaitu: النبيذ /An-nabidz[6]. Maka ayat yang mengharamkan khamr hanya
terbatas kepada khamr: perasan anggur saja, adapun minuman yang
memabukan dari sumber yang lain yaitu nabidz maka menurut pendapat ini mengkonsumsinya
dengan kadar sedikit itu dibolehkan adapun jika mengkonsumsinya dengan banyak
sehingga memabukan maka itu yang diharamkan haram.
Pendapat kedua; yaitu Jumhur Ulama (selain Imam Abu
Hanifah) mendefinisikan khamr yaitu setiap jenis minuman yang dapat
memabukan baik itu berasal dari perasan buah-buahan berupa anggur, kurma dan
buah thin[7],
atau dari perasan sejenis kacang-kacangan: gandum dan jagung atapun dari
selainya yaitu seperti madu, baik minuman tersebut sudah dimasak atapun masih
mentah.[8] semuanya
sama dalam hukumnya baik meminumnya sedikit ataupun banyak dan memabukan atapun
tidak hukumnya haram sesuai dengan nash Al- Quran. Menurut pendapat ini khamr adalah
sebuah nama untuk segala jenis benda yang dapat memabukan
Ulama yang sependapat dengan ini
berdalil secara lughah dan hadits;
Adapun secara bahasa, Khamr
itu diartikan sebagai sesuatu yang dapat menutupi akal begitupun dengan nabidz
dapat menutupi akal sehat karena dapat memabukan ketika terlalu banyak
dalam mengkonsumsinya. Lalu para shahabat yang hidup pada masa itu mereka
sangat memahami dengan maksud dari kata khamr, karena mereka orang yang
paling faham dengan bahasa Al-Quran. Bahwa para shahabat menamai khamr
untuk segala sesuatu yang dapat memabukan baik itu dari perasan anggur, kurma,
gandum, jagung ataupun dari yang lainnya.
Dalil dari hadits: banyak sekali
hadits yang menerangkan tentang keharaman setiap jenis minuman yang dapat
memabukan diantaranya hadits mutawattir yang di riwayatkan oleh enam
belas shahabat diantaranya Umar ibn Khatab dan Ibn Umar 5:
)كُلُ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ, وَكُلُ خَمْرٍ حَرَامٌ)[9]
Setiap yang memabukan itu adalah khamr, dan
setiap khamr hukumnya haram
Dan juga hadits:
Sesuatu
yang banyaknya memabukan, sediktnyapun haram
Setelah melihat uraian dari kedua
pendapat diatas maka para ulama lebih menguatkan pendapat kedua yaitu pendapat jumhur
ulama, karena para shahabat ketika mendengar ayat pengharaman khamr
mereka memahami darinya pengharaman nabidz dan juga karena para shahabat
adalah orang yang paling memahami bahasa arab serta mengerti dari setiap hukum
yang terkandung dari ayat tersebut, hal ini dikuatkan juga dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari 0:
(حُرِّمَتْ
عَلَيْنَا الْخَمْرُ حِينَ حُرِّمَتْ وَمَا نَجِدُ ، يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ -
خَمْرَ الأَعْنَابِ إِلاَّ قَلِيلاً وَعَامَّةُ خَمْرِنَا الْبُسْرُ وَالتَّمْرُ)[11]
Khamr telah diharamkan atas kami,
ketika hal itu diharamkan maka kami
tidak mendapati jenis khamr dari (perasan) anggur di Madinah kecuali hanya
sedikit, ketika itu kebanyakan khamr kami terbuat dari perasan busr (kurma yang
masih muda) dan tamr (kurma kering).
Dengan riwayat ini para ulama dan
ahli sejarah sepakat bahwa ketika waktu di haramkanya khamr yaitu di
Madinah, para shahabat tidak mempunyai cadangan khamr dari jenis perasan
anggur, akan tetapi para shahabat meminum khamr dari jenis nabidz,
maka dengan segera mereka menghancurkan setiap bejana ataupun tempat
penyimpanan khamr yang mereka miliki sebagai bentuk ketaatan kepada
Allah swt dan keyakinan mereka bahwa itu semua itu termasuk kedalam khamr,
dan Rasulullah pun menyepakati akan hal tersebut.[12]
III.
Kronologis
Pengharaman Khamr
Menurut para ulama proses ini diklasifikasikan
menjadi 4 tahapan:
Pertama: Surat An-Nahl ayat 67,[13]
}وَمِنْ ثَمَرَاتِ
النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ{
"Dan
dari buah kurma dan anggur kamu membuat minuman yang memabukan dan rezeki yang
baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang berakal"
Ayat ini di turunkan di Makkah
sebelum Rasulullah )r) berhijrah,
oleh sebab itu dari ayat ini bisa dijadikan satu informasi bahwa ketika
diturunkannya ayat ini sebagian kaum musliminin sudah meminum khamr dan
dihalalkan bagi mereka[14].
Maka meminum khamr pada fase ini menjadi satu aktifitas soal yang
digemari pada waktu itu. Oleh karenanya pengarang Tafsir Al-Kasyaf Imam
Al-Zamakhsyari [15]dan
sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang di
turunkan dalam proses pengharaman khamr.
Para mufasir menganalilis ayat ini bahwa السَكَر
وَالرّزْق الحَسَن; perbedaan dalam pemberian sifat diantara dua
kata ini; dimana الرزق dalam ayat ini Allah sifati dengan الحسن/baik, hal ini mengandung makna bahwa memakan
buah-buahan yang tidak memabukan, itu yang disifati dengan rizki yang baik,
berbeda dengan kata السَكَر karena tidak disifati dengan kata الحسن, maka ini menjadi satu pemberitahuan bahwa
diantara keduanya tidaklah sama sehingga keduanyapun memiliki unsur yang
berbeda, demikian juga perbedaan sifat diantara keduanya menjadi bentuk
penjelekan perihal السَكَر dalam rangkaian
ayat ini.
{ إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ }
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang berakal.
Memperhatikan akhir dari penggalan
ayat ini Allah swt tutup dengan penjelasan bahwa dalam minuman dan makanan yang
telah Allah swt anugrahkan kepada manusia menjadi tanda atas kebesaran-Nya bagi
setiap insan yang mau menggunakan akalnya untuk berfikir dan merenungkan
kekuasaan-Nya di alam semesta ini, penyebutan 'akal' disini menjadi satu
keserasian karena kemulian seorang manusia dilihat dari bagaimana ia
mempergunakan akalnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan syara, makan
diharamkanlah khamr demi menjaga kesehatan akal agar bisa berguna sesuai
dengan fungsinya.
Kedua: Surat Al-Baqarah Ayat 219,
}يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ
الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ
تَتَفَكَّرُونَ{
Mereka
menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, "pada
keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya
lebih besar daripada manfaatnya". Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang)
apa yang (harus) mereka infakan. Katakanlah " kelebihan (dari apa yang di
perlukan)". Demikianlah Allah menerangkan ayat ayat-Nya kepadamu agar kamu
memikirkan.
Sebagian besar ulama berpendapat
bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang turun dalam proses pengharaman khamr
bukan ayat ke 67 dari surat An-Nahl. Hal ini dikuatkan dengan dalil yang mereka
utarakan bahwa asbab an-nuzul ayat ini ditenggarai oleh permintaan fatwa
dari Umar Ibn Khatab, Muadz Ibn Jabal 5 dan segolongan dari kaum Anshar seraya mendatangi Rasulullah )r), mereka berkata: "Wahai Rasulullah berilah kami keputusan atas
hukum meminum khamr dan berjudi karena keduanya dapat menghilangkan akal sehat
dan menguras harta". Maka turunlah ayat ini.
Dan di kuatkan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah 0:
"Ketika Rasulullah )r) datang di Madinah saat berhijrah, penduduknya
sudah terbiasa meminum Khamr dan memakan hasil dari berjudi, sehingga sebagian
para shahabat menanyakan kepada Rasulullah saw tentang hukum keduanya, maka
turunlah ayat ini, lalu berkata sebagian dari mereka: 'Perkara ini (khamr dan
berjudi) tidaklah diharamkan bagi kami, akan tetapi hanya dikatakan bahwa
padanya terdapat اثم كبير/
dosa yang besar', sehingga mereka masih membiasakan meminum khamr dan berjudi.
Permulaan ayat ini menjelaskan
bahwa para shahabat menanyakan bagaimana hukum dari segi halal dan haram
pengunaan khamr, bukan dari sisi zat/kandungan yang dimiliki khamr tersebut
karena mereka sudah faham dan mengerti akan hakikat dari padanya.
Dengan hadirnya ayat ini status
hukum khamr masih belum sampai tahap final, Allah swt hanya memberikan
isyarat dan benang merah bahwa dalam khamr terdapat sebagian manfaat bagi manusia, akan tetapi dosa yang
dihasilkan dari keduanya jauh lebih besar dari pada manfaatnya. Oleh karenanya
sebagian dari sahabat masih membiasakan meminum khamr dan sebagian yang
lainnya sudah mulai meninggalkannya.
Nash ini merupakan langkah pertama dalam
pengharaman khamr, dimana didalamnya Allah simpan dua unsur yang saling
bertentangan yaitu dosa dan manfaat, oleh karena itu dalam permasalahan ini
yang menjadi acuan penghalalan dan pengharaman itu ialah sisi yang paling
dominan diantara salah satunya yaitu unsur kebaikan/pahala atau kejelekan/dosa. Apabila dosa khamr
itu lebih besar daripada manfaatnya maka hal itu menjadi 'illat –alasan-
pengharaman dan pelarangannya, meskipun pengharaman dan pelarangan ini
disebutkan secara implisit.
Oleh karenanya, jika satu perkara
sisi kerusakan yang ditimbulkannya lebih besar dari pada sisi kemanfaatannya
maka wajib kita menahan dan meninggalkan dari perkara tersebut, hal ini selaras
dengan qaidah ushul fiqh yang mengatakan:
دَرْءُ المَفَاسِد مُقَدّمٌ علي جَلبِ
المَصَالِح))
Meninggalkan perkara yang dapat merusak itu lebih didahulukan daripada
mendatangkan perkara yang bisa memberi manfaat
Sebagian dari sisi kerusakan yang
ditimbulkan oleh khamr adalah dapat memepengaruhi (menekan) sususan
syaraf pusat sehigga seseorang bisa lebih berani, lebih agresif dan cenderung
banyak menimbulkan tindak pidana[16].
Lebih lanjut efek miras bisa menjalar kepada hilangnya kesadaran diri,
menurunkan daya imunitas dan stamina tubuh serta kekuatan berfikir, merusak
akal dan moralitas, mengilangkan rasa malu, dan menimbulkan berbagai
permasalahan kompleks yang kelak hadir didalam satu lingkungan sosial tersebut.
Adapun anggapan sebagian golongan
yang membolehkan mengambil manfaat dari khamr untuk dijadikan obat berdalil dengan ayat ini maka pendapat
ini tidak bisa di terima, karena Allah swt tidak menjadikan obat bagi penyakit
yang diderita hambanya itu terbuat dari unsur yang secara nash telah
Allah swt haramkan.
Sebagaimana Rasulullah )r) bersabda:
Allah tidah menjadikan obat bagi kalian dari apa yang telah Allah
haramkan atas kalian
Dikarenakan khamr merupakan
unsur yang telah Allah swt haramkan maka begitupun berobat dengan perkara
haram, maka hukumnya haram menurut syara.
Dalam riwayat lainpun Rasulullah )r) pernah
mengomentari tentang pengobatan menggunakan khamr, beliau bersabda:
(إنه ليس بدواء ولكنه داء)
Sesungguhnya
khamr bukanlah sebuah obat melainkan adalah penyakit.
Hadis ini sebagai sanggahan Rasulullah )r) kepada
Thariq Ibn Suwaid Al-Ja'fi karena dia mengatakan:
Sesungguhnya aku membuatnya (khamr) untuk dijadikan obat
Walaupun (Hanafiah)
pengikut Imam Abu Hanafi memperbolehkan penggunaan khamr ataupun unsur
lainnya yang tidak diperbolehkan dalam pandangan syara untuk keperluan
medis karena alasan dlarurah, dengan syarat benar-benar mengetahui dan
meyakini bahwa di dalamnya ada obat/penawar yang bisa menyembuhkan penyakit
yang diderita serta sudah tidak menemukan alternatif lain yang bisa dijadikan
obat kecuali barang tersebut, pendapat ini disandarkan kepada firman Allah swt:
Dan sungguh Allah telah
menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkannya atas kalian kecuali kalian ada
dalam keadaan terpaksa (untuk mengkonsumsinya.) [20]
Ketiga: Surat An-Nisa Ayat 43
}يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى
تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا{
Wahai orang ang
beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk,
sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid
ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum
kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan
atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu
tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci);
usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf dan
Maha Pengampun.
Ayat ini turun dilatar belakangi
oleh satu peristiwa yang di rekam oleh Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, Imam
An-Nasai, dan Imam Al-Hakim dalam kitab mereka yang diriwayatkan dari shahabat
Ali Ibn Abi Thalib 0, ia berkata: 'Bahwa suatu ketika
Abdurrahman Ibn 'Auf 0menyajikan hidangan ditengah-tengah kami, lalu
ia mengajak kami untuk meminum sajian khamr yang dihidangkan, hingga datanglah
waktu shalat[21]
lalu saya disuruh untuk mengimami mereka, maka ketika saya membaca surat Al-Kafirun,
saya membaca:
} قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ $ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ{
Katakanlah, "Wahai orang orang kafir, aku akan menyembah apa yang
kamu sembah"
Lalu turunlah ayat:
} يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ{
"Wahai orang ang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat,
ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan".
Dampak dari pelarangan ayat ini,
para shahabat memahami bahwa unsur pelarangannya hanya sebatas perihal mendekati
shalat dalam kondisi mabuk bukan pelarangan secara muthlaq, Secara
kuantitas setelah turunnya ayat ini peminum khamr dari kaum mukminin
semakin berkurang walaupun belum semua para sahabat rela untuk meninggalkannya
sehingga para shahabat masih berusaha untuk menemukan celah agar bisa
meminumnya diluar shalat sebangai mana konteks pelarangan dalam ayat ini. Maka
mereka menunda meminum khamr hingga datang waktu shalat isya, tatkala
mereka selesai melaksanakan shalat isya mereka kembali meminum khamr seperti
biasanya.[22]
Dengan turunya ayat ini menjadi
satu tahapan persiapan dan pendahuluan untuk memasuki marhalah terakhir
dalam proses tadarruj pengharaman khamr hingga akhirnya
diharamkan secara total
لَا
تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ..!,
kebanyakan ahli tafsir sepakat bahwa makna shalat disini dibiarkan sesuai
dengan makna hakikinya, yaitu; ucapan dan perbuatan tertentu yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tanpa harus merubah
maknanya kedalam arti yang lain.
Sedangkan
Imam Asy-Syafi'i, Ibn Abbas, Ibn Mas'ud, dan Al-Hasan Al-Bashri berpendapat
bahwa kalam disini ada حذف مضاف/ penghilangan gandengan kata sebelumnya dan ini merupakan majaz
yang sudah tersebar dikalangan bangsa arab. sehingga maksud dari rangkaian
kalimat ini:لَا تَقْرَبُوا مواضع الصَّلَاة َ/ janganlah kalian mendekati tempat-tempat
shalat yaitu: Masjid, mereka memberi alasan dengan penafsiran pada
penggalan ayat وَصَلَوَاتٌ [23] bahwa kata ini menurut Ibn Abbas adalah sinagog/tepat
ibadah orang yahudi, karena jika tidak dimaknai seperti itu maka tidak shah pengecualian/istitsna
pada إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ/ kecuali sekedar melawati jalan saja
yang mana kalimat sebelumnya menjelaskan pelarangan orang yang junub untuk
menghampiri masjid dalam kondisi tersebut, oleh karenanya mereka memalingkan lafadz
الصَّلَاةَ kepada makna tempat
shalat yaitu Masjid.[24]
حَتَّى
تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ,
yaitu jangan mendekati perkara shalat dalam kondisi mabuk, karena orang yang
mabuk tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Hal ini menegaskan bahwa didalam
rangkaian shalat memuat bacaan al-quran, munajat dan dzikir yang lainya itu
semua membutuhkan kesadaran penuh dan penguasaan/kontrol diri secara utuh, adapun
makna konteks pelarangan dalam ayat ini yaitu: janganlah kalian shalat
sebelum kalian sampai kepada derajat kesadaran dan pemahaman penuh (atas bacaan
shalat) kalian sehingga kalian bisa khusyu dalam bermunajat dihadapan Sang
Pencipta dan Penguasa Alam Semesta.[25]
Keempat: Surat
Al-Maidah ayat 90-91
}يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ
وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ $ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ{
Wahai
orang orang yang beriman! Sesungguhnya meminum minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhhiah (perbuatan-perbuatan) itu agar
kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dan menghalang halangi kamu
dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidaklah kamu mau berhenti!
Sampailah pada fase terakhir dari
rangkaian proses pengharaman khamr, dimana dalam fase ini tidak ada satu
bentuk keringanan dan pengecualian untuk memanfaatkan khamr dalam bentuk
apapun, bahwa perkara ini Allah swt haramkan secara langsung dan dikategorikan
sebagai perbuatan syaitan. Bahkan peminumnya setelah turun ayat ini
harus merasakan had sebagai balasan atas pelanggaran hukum Allah swt.
Pengharaman khamr ini terjadi pada bulan syawal tahun ke tiga
hijriah setelah peristiwa perang Uhud, akan tetapi dalam Fath Al-Bari
Imam Ibn Hajar Al-Astqalani menjelaskan ihwal waktu pengharaman ini terjadi
pada tahun ke delapan hijriah.[26] Imam
Al-Bukhari 0menjelaskan, bahwa setelah para shahabat
mengetahui khamr diharamkan, maka para shahabat pun membuang semua khamr
pada tempat persedian yang ada didalam rumah mereka, hingga jalanan Madinah
basah dengan khamr tersebut.[27]
Jika kita perhatikan kisah para shahabat ketika waktu diharamkannya khamr
sebagaimana direkam dalam sebuah hadis yaitu:
كُنْتُ
سَاقِىَ الْقَوْمِ فِى مَنْزِلِ أَبِى طَلْحَةَ فَنَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ
فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ اخْرُجْ فَانْظُرْ مَا هَذَا
الصَّوْتُ قَالَ فَخَرَجْتُ فَقُلْتُ هَذَا مُنَادٍ يُنَادِى أَلاَ إِنَّ
الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ فَقَالَ لِى اذْهَبْ فَأَهْرِقْهَا قَالَ فَجَرَتْ فِى
سِكَكِ الْمَدِينَةِ.[28]
Dari Anas bin Malik 0 ia berkata: "Aku
adalah penuang khamr bagi orang-orang di rumah Abu Tolhah lalu turunlah ayat
tentang pengharaman khamr maka Rasulullah )r (menyuruh seseorang untuk
menyerukan kepada manusia (akan pengharaman khamr), lalu Abu Tolhah berkata
kepadaku "Lihatlah suara apakah itu?" maka akupun keluar, lalu
kukatakan kepadanya ini adalah suara seorang penyeru yang menyerukan bahwasanya
khamr telah diharamkan. Lalu ia berkata kepadaku, "Pergilah engkau dan
tumpahkanlah khamr", maka akupun keluar lalu ditumpahkanlah khamr di
jalan-jalan kota Madinah)
Lihatlah bagaimana para shahabat
dengan mudahnya bagi mereka untuk berhenti dari kebiasaan meminum khamr
padahal diantara mereka ada yang sudah menjadi pecandu khamr selama
bertahun-tahun. Dan cukup bagi Rasulullah )r ( untuk mengehentikan mereka dari kebiasaan
ini dengan mengutus seorang pemberi kabar akan diharamkannya khamr.
Begitu kuatkannya keimanan yang menancap dalam qalbu para shahabat
sehingga dengan kesadaran diri bisa melepaskan adat yang sudah
mendarah daging dalam diri mereka. Semuanya itu merupakan wujud dari pembuktian
akan ketaataan kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Sebagian ulama memberikan
informasi tetang Asbab an-nuzul dari proses turunnya ayat ini, dilatarbelakangi
oleh satu peristiwa yaitu ketika 'Utban Ibn Malik 0mengundang para sahabat untuk makan bersama,
dan salah satu yang hadir diantaranya Sa'ad Ibn Abi Waqas 0, hingga mereka makan dan minum khamr sampai
mabuk, lalu mereka medendangkan syair-syair sambil membanggakan kaumnya hingga
kaum Muhajirin mencela dan menghina kaum Anshar yang hadir pada waktu itu.
Kemudian salah seorang dari kalangan Anshar mengambil sebuah tulang unta dan
memukul hidung Sa'ad hingga terluka sebagai bentuk pembelaan kepada kaumnya, sehingga
kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah )r), lalu turunlah ayat ini.
Umar Ibn Khatab 0pun berdoa untuk kesekian kalinya kepada Allah
swt sebagai respon dari kejadian tersebut karena dinilai perkara ini memberikan
efek keji bagi kaum muslimin:
(اللهم بين لنا في الخمر بيانا شافيا)
Ya
Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamr dengan sejelas jelasnya.
Maka
tatkala turun ayat ini (إِنَّمَا الْخَمْر ) sampai ayat (فَهَلْ أَنْتُمْ
مُنْتَهُونَ/maka
tidaklah kalian mau berhenti!) Umar Ibn Khatab 0 berkata - إنتهينا يا رب – Ya Tuhan, kami
berhenti.[29]
Adapun hukum
pengharaman khamr dalam ayat ini dapat dilihat dari beberapa sisi:
Pertama: Ayat ini diawali dengan إِنَّمَا dimana memberikan faedah pengkhususan dan pembatasan.
yang hal ini menunjukan tidak ada sifat dalam khamr kecuali لرِّجْس Dan jika kita
memeriksa lafal الرِّجْس
dalam Al-Qur'an maka kita akan dapati tidaklah Allah swt menyifati dengannya
kecuali pada perkara-perkara yang sangat buruk, diantaranya firman Allah swt:
maka jauhilah olehmu
barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta.
Kedua: Khamr
digandengkan dengan perbuatan keji lainnya yang semuanya dikategorikan sebagai
dosa besar yaitu judi, mengundi nasib, dan penyembahan terhadap berhala.
Ketiga: Khamr dikategorikan sebagai رِجْسٌ
مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ/
perbuatan keji yang temasuk kedalam perbuatan syaitan, ini merupakan hal yang
paling jelek dan nista menurut syara' karena syaitan adalah makhluk yang
secara jelas oleh Allah swt di perintahkan untuk menjauhinya. dan penamaan رِجْسٌ ini menandakan bahwa khamr adalah najis[31],
karena penggunaan kata رِجْسٌ dalam perkataan orang arab mengandung arti bahwa sesuatu itu
adalah najis dan kotor baik itu secara indrawi ataupun abstrak. Sehingga didalamnya
mengandung efek hukuman.
Keempat: Perintah untuk
menjauhinya: فَاجْتَنِبُوه...!ُ, ini merupakan bentuk perintah penjauhan
paling keras dari pada sekedar menggunakan redaksi pelarangan atau lafadz
pengharaman secara eksplisit.
Kelima: Allah
menjanjikan bagi setiap orang yang menjauhinya dengan pahala dan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Keenam: Allah
menerangkan bahwa pada prilaku menyimpang ini mengandung kerusakan yang akan
menimbulkan penyakit baik secara individu maupun sosial, Allah berfirman :
}إِنَّمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ{
setan
hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dan
menghalang halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat
oleh karena itu Rasulullah )r)
bersabda:
Khamr adalah pangkal dari segala bentuk kejahatan
Dalam riwayat lain:
Pecandu khamr
seperti penyembah berhala
Ketujuh: Yang terakhir Allah swt tutup ayat ini dengan
dorongan untuk menghentikan perbuatan ini dengan pertanyaan sebagai
bentuk penghinaan dengan firman-Nya فَهَلْ
أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
-maka tidakkah kalian berhenti (dari mengerjakan pekerjaan itu)- yang
menunjukan ancaman keras bagi peminum khamr agar dengan segera
meninggalkan perbuatan tersebut.
IV.
Had/Hukuman Peminum Khamr
Dalam hukum positif yang
berlaku di Negara Indonesia Raya, dan Negara lain yang mengadopsi hukum ini,
bahwa meminum khamr tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana
disebabkan perbuatan itu sendiri. Artinya peminum khamr tidak dihukum
hanya karena dia mabuk. Hukum positif memandang suatu tindakan pidana
hanya dilihat dari sudut kerugian yang ditimbulkan pelakunya. Dalam kasus peminum
khamr di ruangan tertutup dan hanya dia sendiri yang mabuk, sulit sekali
mencari kerugian dari akibat perbuatan tersebut. Lain halnya kalau ia
melakukannya di tempat umum barulah hal tersebut di perhitungkan di hadapan
hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Dan hingga saat inipun Negara
Indonesia belum ada peraturan hukum yang mengatur bahwa peminum miras dapat
dikenakan sanksi pidana.[34]
Hal ini mendorong para produsen dengan leluasa memasarkan produknya
ditempat-tempat umum yang secara lokasi dianggap stategis dan bisa dijangkau
oleh semua lapisan masyarakat. Melihat dampak yang begitu besar sudah saatnya
pemerintah mengeluarkan undang-undang dan peraturan khusus tentang miras
sehingga bisa menekan aktifitas tersebut.
Berbeda dengan Islam, agama samawi
ini memberikan hukuman keras bagi peminum khamr sebagai tindakan
preventif dan pengendalian iklim sosial agar tetap kondusif terjauh dari
berbagai penyakit individu yang bisa berdampak terhadap kerusakan interaksi
sosial. Islam juga telah melarang, mengharamkan serta menghukum
pemabuk sejak awal meminumnya tanpa harus menunggu mabuk ataupun tidaknya,
menyendiri ataupun dilakukan bersama-sama di tempat umum, baik itu merugikan
orang lain ataupun tidak. Maka dalam pandangan syariat semuanya ini sudah
dianggap pelanggaran karena bertentangan dengan hukum yang Allah tetapkan. [35]
Hanafiah (pengikut Imam Abu Hanifah) mengkategorikan
hukuman bagi peminum khamr kedalam dua jenis:
Pertama: Had As-Syarab, yaitu hukuman
yang khusus di jatuhkan kepada setiap peminum khamr.[36]
Baik meminumnya banyak ataupun sedikit dan tidak bersandar kepada efek
memabukan ataupun tidak, maka menurut pendapat ini hukumannya tetap berlaku.
Bersandar kepada sabda Rasulullah )r):
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah
Kedua: Had Ss-Sakr
yaitu had yang dijatuhkan kepada orang yang mabuk, diakibatkan oleh
minuman selain khamr yang terbuat dari perasan anggur.
Akan tetapi jumhur ulama tidak
membedakan diantara peminum khamr atapun peminum jenis lainya, dan mengkategorikan
khamr kedalam setiap jenis minuman yang dapat memabukan, baik sedikit
atapun banyak maka secara nash hukumnya haram sama dengan minuman hasil
perasan anggur. Berdasarkan ucapan Rasulullah )r):
Setiap yang memabukan itu adalah khamr, dan setiap khamr hukumnya haram.
Adapun مِقدَارُ الحَد atau ukuran dalam pemberian hukuman para
ulama juga berikhtilaf dalam menentukannya, perbedaan pendapat ini
disebabkan karena Rasulullah )r) tidak
memberikan kepastian dalam menentukan ukuran hukuman bagi peminum khamr.
Oleh karena itu Jumhur fuqaha
mengatakan bahwa hukuman pagi peminum khamr adalah 80 kali deraan, hal
ini disandarkan dari perkataan Imam Ali Ibn Thalib 0:
Barang siapa meminum (khamr) maka ia akan mabuk, dan jika mabuk maka ia
akan mengigau, dan jika mengigau ia akan membuat kebohongan (fitnah) dan
had/hukuman bagi pembuat kebohongan (fitnah) adalah 80 deraan.
Adapun Syafi'iyah (pengikut
Imam Syafi'i) berpendapat bahwa had bagi peminum khamr dan semua
jenis minuman yang dapat memabukan adalah 40 cambukan, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari 0:
Rasulullah mendera peminum khamr dengan pelepah kurma dan sandal
sebanyak 40 kali.
V.
Syarat
Diberlakukannya Had
Had bisa di terapkan jika sudah memenuhi
syarat-syarat berikut:
- Berakal, maka orang yang gila meskipun dia meminum khamr sampai mabuk tidak wajib di had,
- Baligh, anak-anak yang belum sampai usia dewasa maka tidak wajib di had
- Muslim, tidak berlaku hukuman bagi orang kafir,
- Tidak dipaksa untuk meminumnya, yakni had berlaku hanya bisa peminum atas keinginannya sendiri,
- Tidak ada dalam kondisi darurat, contohnya untuk menyelamatkan jiwa dari kematian karena kehausan dan hanya itu yang ada maka ia dibolehkan untuk meminumnya dengan batasan ukuran hanya untuk mempertahankan hidup,
- Mengetahui bahwa yang diminum adalah khamr, maka jika ia meminumnya karena menyangka bahwa itu bukan khamr maka tidak wajib dikenakan had,
- Mengetahui bahwa khamr hukumnya haram, maka jika ia meminum khamr karena dia tidak mengetahui hukumnya; Malikiah (pengikut Imam Malik) berbeda pendapat, apakah alasannya diterima apa tidak?, akan tetapi ulama selainnya berpendapat bahwa, alasan tersebut (tidak mengetahui suatu hukum syara') tidak bisa diterima bagi orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin.[41]
V.
Epilog
Dari pembahasan ini maka bisa di
simpulkan bahwa islam mengharamkan semua jenis minuman yang dapat memabukan baik
itu terbuat dari perasan anggur atapun selainya dan wajib memberikan had bagi
orang yang mengkonsumsinya. Islam juga tidak membedakan diantara perkara yang dapat
memabukan yang telah ada pada masa lalu, ataupun perkara yang dapat memabukan
pada zaman modern sekarang dimana jenis, bentuk serta macamnya sudah sangat
banyak dengan nama dan istilah yang baru.
Begitupun cara mengkonsumsinya sangat
beragam, bukan hanya diminum tapi bisa juga di makan, di hisap dan di suntik.
Seperti wiski, ganja, heroin, kokain dan berbagai macam jenis lainya, maka semua hukumnya haram tanpa pengecualian
karena adanya 'illah' atau alasan yang sama yaitu benda tersebut dapat 'memabukan'.
Kondisi zaman sekarang ini sudah
diprediksi oleh Rasulullah saw 14 abad yang lalu:
Sungguh akan ada
golongan dari umatku yang meminum khamr lalu mereka menamakan khamr dengan nama
yang lain.[]
[1] Oe. Rendra Widjaya, Visi Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1, 2004), h. 25
[2] Diriwayatkan oleh imam An-Nasai, dari Usman Ibn Affan secara mauquf. Lihat: Abi 'Abdirrahman Ahmad Ibn Syu'aib Ibn 'Ali An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Riyad: Maktabah Al-Ma'Arif, cet. 1, t.t), h. 849
[3] Lihat selengkapnya: Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Isma'il Al-Bukhari, Al-Jami' Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400 H), h. 11
[4] Sayyid Quthb, Fi Zhilal Al-Quran, terj. As'ad Yasin dan Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, cet. 4, 2008), h. 107
[5] Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Al-Qurthuby, Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, Juz 5, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2006), h. 433-434
[6] Dinamakan nabidz sebab ia diambil dari perasan korma atau anggur lalu dimasukan/dilemparkan kedalam bejana kemudian dimasukan air kedalamnya dan dibiarkan sampai mendidih. Adapun secara leksikal kata ini mengandung makna sesuatu yang dilemparkan. Lihat:Fuad Moh. Fachruddin, Haram atau Halal Bier?, (Bandung: Diponegoro, cet. 3, 1993), h. 19
[7] Buah Thin (Ficus carica) termasuk famili Moraceae, ordo Rosales dan kelas Magnoliopsida yang hidup di wilayah Timur Tengah seperti Jazirah Arab, Palestina dan Mesir.
[8] Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, Jilid 5,(Kuwait: Wizarah Al-Auqaf wa As-Su'un Al-Islamiyah, cet. 2, 1983), hal. 11
[9] Diriwatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan Ashhab As-Sunan kecuali Imam Ibn Majah.
[10] Diriwayatakan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan di Shahihkan oleh Ibn Hibban dari Jabir, Dan Imam Ahmad, Imam An-Nasai dan Ibn Majah dari Abdullah Ibn Umar 4
[11] Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Isma'il Al-Bukhari, Al-Jami' Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400 H), h. 12
[12] Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Wasith Li Al-Quran Al-Karim, Juz 1, (Cairo: Dar As- Sa'adah.Cairo, t.t), h. 481
[13]Ibn Umar, Ay-Sya'bi, Mujahid, Qatadah, Robi Ibn Anas dan sebagian ulama yang lainnya menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini sebagai ayat pertama dalam pengharaman khamr; mereka berpendapat bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan tema khamr, dan mereka menginterpretasikan kata سَكَرًا dengan makna lain, yaitu; setiap apa yang Allah halalkan dari buah kurma dan anggur yang tidak mempunyai efek memabukan dan itu yang dinamakan dengan رِزْقًا حَسَنًا/rezeki yang baik, dan huruf athaf (و) yang menjadi konjungsi diantara keduanya adalah merupakan bentuk عطف التفسير/penjelas dari kalimat sebelumnya.
[14] Jalaluddin As-Suyuty, Ad-Dur Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Mantsur, Juz 9, (Cairo: Markaz li Al-Buhuts wa Ad-Dirasat Al-'Arabiyah wa Al-Islamiyah, cet. 1, 2003), h. 69
[15] Abi Qasim Mahmud Ibn 'Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 3, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1, 1998), h. 448-449
[16] Oe. Rendra Widjaya, Visi Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1, 2004), h. 25
[17] Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Isma'il Al-Bukhari, op, cit., h. 18
[18] Abi Al-Husain Ibn Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Riyad: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 1998), h. 823
[19] QS Al-An'am ayat 119
[20] Wahbah Zuhaili, Mausu'ah Al-Fiqh Al-Islami Wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Juz 6, (Damaskus: Dar Al-Fikr, Damaskus, 2010), h. 104.
[21] Imam Ibn Jarir meriwayatkan bahwa shalat yang dilakukan oleh para shahabat pada waktu itu adalah shalat Maghrib dan shahabat yang mengimaminya adalah Abdurrahman Ibn 'Auf sebelum diharamkannya khamr secara mutlaq. Lihat selengkatpnya: Abi Ja'far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami' Al-Bayan 'an Tawil ai Al-Quran, Juz 7, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001), h. 45-46
[22] Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir fi Al 'Aqidah wa Asy-Syari'ah wa Al-Manhaj, Juz 3, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003), h. 86
[23] Surat Al-Hajj Ayat 40, ayat lengakapnya yaitu:
}الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ{
[24] Ibid, h. 87
[25] Ibid, h. 90
[26] Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir fi Al 'Aqidah wa Asy-Syari'ah wa Al-Manhaj, Juz 4, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2003), h. 43
[27] Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Isma'il Al-Bukhari, op, cit., h. 12
[28] Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Isma'il Al-Bukhari, op, cit., h. 196
[29] Abi Ja'far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami' Al-Bayan 'an Tawil ai Al-Quran, Juz 8, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001), h. 657-658
[30] QS Al-Haj ayat 30
[31] Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.
[32] Diriwayatkan oleh imam An-Nasai, dari Usman Ibn Affan secara mauquf. Lihat: Abi 'Abdirrahman Ahmad Ibn Syu'aib Ibn 'Ali An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Riyad: Maktabah Al-Ma'Arif, cet. 1, t.t), h. 849
[33] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dari 'Abdullah Ibn Umar secara marfu'. Lihat: Abi Qasim Mahmud Ibn 'Umar Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 2, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1, 1998), h. 289
[34] Oe. Rendra Widjaya, Visi Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1, 2004), h. 26
[35] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 101
[36] Khamr yang dimaksud disini adalah jenis khamr yang dikategorikan oleh Imam Abu Hanafi yaitu hanya terbatas untuk setiap perasaan anggur saja.
[37] Diriwayatkan oleh ashab as-sunan dari 12 shahabat secara mutawattir
[38] Sudah di takhrij sebelumnya.
[39] Malik Ibn Anas, Al-Muwatha, Jilid 4, (Dubai: Maktabah Al-Furqan, 2003), h. 1677
[40] Abi 'Abdillah Muhammad Ibn Isma'il Al-Bukhari, Al-Jami' Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400 H), h. 246
[41] Wahbah Zuhaili, Mausu'ah Al-Fiqh Al-Islami Wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Juz 6, (Damaskus: Dar Al-Fikr, Damaskus, 2010). 150-151
Daftar Pustaka
Abi 'Abdillah Muhammad Ibn
Ahmad Ibn Abi Bakr Al-Qurthuby, Al-Jami' li Ahkam Al-Quran, Juz 5,
(Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1, 2006)
Abi 'Abdillah Muhammad Ibn
Isma'il Al-Bukhari, Al-Jami' Ash-Shahih Al-Musnad min Hadits Rasulillah wa
Sunanihi wa Ayyamih, Juz 4, (Cairo: Al-Maktabah As-Salafiah, cet. 1, 1400
H)
Abi 'Abdirrahman Ahmad Ibn
Syu'aib Ibn 'Ali An-Nasai, Sunan An-Nasai, (Riyad: Maktabah Al-Ma'Arif,
cet. 1, t.t)
Abi Al-Husain Ibn Al-Hajjaj,
Shahih Muslim, (Riyad: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 1998)
Abi Ja'far Muhammad Ibn
Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami' Al-Bayan 'an Tawil ai Al-Quran,
Juz 7, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001)
Abi Ja'far Muhammad Ibn
Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari: Jami' Al-Bayan 'an Tawil ai Al-Quran,
Juz 8, (Cairo: Dar Hajar, cet. 1, 2001)
Abi Qasim Mahmud Ibn 'Umar
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 2, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1,
1998)
Abi Qasim Mahmud Ibn 'Umar
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, Juz 3, (Riyad: Maktabah Obeikan, cet. 1,
1998)
Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah, Jilid 5, (Kuwait: Wizarah Al-Auqaf wa As-Su'un Al-Islamiyah,
cet. 2, 1983)
Fuad Moh. Fachruddin, Haram
atau Halal Bier?, (Bandung: Diponegoro, cet. 3, 1993)
Jalaluddin As-Suyuty, Ad-Dur
Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Mantsur, Juz 9, (Cairo: Markaz li Al-Buhuts
wa Ad-Dirasat Al-'Arabiyah wa Al-Islamiyah, cet. 1, 2003)
Malik Ibn Anas, Al-Muwatha,
Jilid 4, (Dubai: Maktabah Al-Furqan, 2003)
Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir
Al-Wasith Li Al-Quran Al-Karim, Juz 1, (Cairo: Dar As-Sa'adah.Cairo, t.t)
Oe. Rendra Widjaya, Visi
Refolusi: Nyatakan Perang Terhadap Narkoba, (Bandung: Humaniora, cet. 1,
2004)
Rahmat Hakim, Hukum
Pidana Islam: Fiqh Jinayah, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Sayyid Quthb, Fi Zhilal
Al-Quran, terj.
As'ad Yasin dan Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jilid 2, (Jakarta:
Gema Insani, cet. 4, 2008)
Wahbah Zuhaili, Mausu'ah
Al-Fiqh Al-Islami Wa Al-Qadhaya Al-Mu'ashirah, Juz 6, (Damaskus: Dar Al-Fikr, Damaskus, 2010)
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al
Munir fi Al 'Aqidah wa Asy-Syari'ah wa Al-Manhaj, Juz 3, (Damaskus: Dar
Al-Fikr, 2003)
Komentar
Posting Komentar