Sabar dan Bersyukur
(Kisah Salah Seorang Korban Tsunami Pangandaran Tahun 2006)
Oleh: Nia Kurniasih*
sumber gambar: doripos.com
Nama saya Nia Kurniasih akrab dipanggil Nia, umur 19 tahun. Saya lahir dari keluarga yang sederhana, hidup sederhana bagiku biasa asalkan banyak bersyukur. Di sini izinkan saya sedikit menceritakan kehidupan saya atau tepatnya pengalaman pahit dalam kehidupan saya yang membuat trauma beberapa tahun ke belakang dan tak ingin mengalaminya lagi. Inilah kisahku..
Kejadian 13 tahun itu adalah kejadian yang terpahit dan menyakitkan bagi saya, kejadian yang tak boleh dirasakan oleh orang lain cukup saya yang merasakannya. Ya, kejadian itu adalah Tsunami 2006 yang terjadi di Pangandaran. Saya tak pernah menyangka akan merasakan kejadian terpahit itu, namun itulah kenyataan yang saya rasakan saat menginjak umur 6 tahun, usia dimana seorang anak masih begitu polos dan tak tahu apa-apa. Kami sekeluarga tinggal di Pangandaran karena ayah saya asli orang sana. Tanggal 17 juli 2006 saat kejadian itu terjadi, saya dan paman sedang mengaji pada sore hari. Ibu, kakek dan nenek saya berada di rumah namun tidak demikian dengan ayah yang harus secepatnya berangkat ke laut. Namun tak ada yang menyangka, saat ayah baru saja menaiki perahunya, tsunami datang dan menghantam perahu ayah beserta nelayan lainnya. Masih jelas teringat oleh saya, teriakan orang-orang, “Tsunami .. tsunami.. tsunami ..!”, orang-orang berlarian ketakutan dan saat itu juga saya terpisah dengan semua keluarga yang saya tak tau akankah dipertemukan kembali ..
Saya dibawa oleh paman dan orang lain yang tidak saya kenal, untuk naik ke gunung agar tidak terbawa air tsunami tersebut. Hal yang paling saya ingat, saya hampir saja tidak selamat karena terpeleset ke jurang! Namun Allah masih memberikan keselamatan, saya terselamatkan hingga akhirnya tiba di atas gunung. Beberapa jam kami beristirahat, namun begitu melihat air yang sangat keruh terus saja kami mencari dan mengkhawatirkan dimana keberadaan keluarga. Hingga saya dan paman mendengar teriakan seorang wanita yang memanggil-manggil nama saya. Kami menghampiri asal suara tersebut yang ternyata bersumber dari ibu saya sendiri. Selang beberapa menit kemudian, kakek dan nenek akhirnya ditemukan, alhamdulillah syukur yang senantiasa saya ucapkan berkali-kali dalam hati karena Allah masih memberi kami kesempatan untuk tetap berkumpul walau dengan keadaan menyedihkan sebagaimana korban tsunami lainnya.
Namun saat semuanya berkumpul saya pun bertanya tanya kemana ayah ? Dimana ayah ? Mengapa tidak ikut bersama kalian menemui saya di sini ? Dan saya mendapat jawaban yang mengagetkan, bahwa ayah tidak ada. Sebelum tsunami terjadi, ia pergi ke laut. Aku pun bertanya-tanya, kenapa harus pergi ke laut? Akankah ayah selamat setelah diterjang tsunami? Kenapa, kenapa, dan kenapa? Kita semua hanya bisa berdoa, semoga ayah baik-baik saja dan dalam kondisi yang selamat. Setelah kondisi membaik pun kami tetap diminta untuk berkumpul di atas gunung, meski demikian keluargaku bilang aku menjadi anak yang tetap ceria.
Setelah semuanya membaik kami pun kembali ke tempat tinggal kami dan melihat rumah-rumah, jalan dan bangunan lainnya hancur lebur diterpa tsunami yang amat dahsyat. Namun kami tidak lantas mengeluh dan berdiam diri, kami langsung memperbaiki semuanya meski hanya mendapat ‘sisa’ bantuan pemerintah. Singkat cerita setelah beberapa minggu kami melakukan aktivitas seperti biasa pasca tsunami, ibu mendengar kabar bahwa ditemukan sejumlah korban yang terbawa tsunami dan salah satunya adalah jenazah ayah. Dengan tergesa-gesa, Ibu dan keluargaku yang lain pergi ke lokasi yang dimaksud, ibu dan saya hanya menunggu di bawah karena dikhawatirkan ibu tidak kuat jika harus melihat langsung keadaan ayah. Nenek lah yang menyaksikan langsung dan benar memang jenazah ayah saya adalah salah satunya, tak dapat kugambarkan bagaimana perasaanku saat itu.
Ibu dan keluarga sangat terpukul atas kepergiaan ayah yang begitu cepat. Tetapi memang itulah taqdir. Saya pun ikut merasakan juga apa yang dirasakan ibu, kami sangat terpukul. Saya ingat ketika itu saya masih berusia enam tahun menangis begitu hebat di belakang rumah, tangis yang disebabkan oleh rasa sakit seorang anak atas kepergiaan ayahnya. Saya juga ingat dengan salah satu teman yang selalu menyemangati saya “sabar, Nia..”. Kami disini memang harus-benar benar ikhlas agar ayah tenang di alam sana.
Setelah semuanya berangsur membaik, aku dan ibu kembali ke Ciamis untuk menenangkan diri. namun tidak dipungkuri setelah beberapa bulan, Ibu menikah lagi, jadilah kami menetap di Ciamis. Saya pun disini mulai beradaptasi dan memulai sekolah dasar, namun saya mulai merasa rindu dengan sosok ayah saya, terkadang merasa iri dengan teman-teman yang dekat dengan ayah mereka. Berbeda dengan diriku, namun beginilah sikap sabar dan ikhlas itu berusaha ditanamkan. Saya mulai berpikir, buat apa Allah menciptakan hati kalau tidak untuk selalu sabar dan ikhlas. Saya berusaha untuk selalu terlihat baik-baik saja di depan mereka yang keluarganya masih utuh.
Saya beranjak dewasa namun keikhlasan itu harus lebih diperkuat, karena semakin saya rindu ayah semakin banyak air mata yang saya keluarkan. Tetapi saya bersyukur masih dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menyayangiku. Saya juga memiliki seorang kakek yang hebat. Sama halnya dengan ayah, ia begitu menyayangiku dan tidak bosan menasehati agar saya terus sabar dan berlapang dada menghadapi ujian kehidupan ini, menerima dengan ikhlas kenyataan pahit ditinggal seorang ayah yang amat saya sayangi serta terus mendoakannya dan membuktikan kalau saya bisa menjadi anak sholehah. Saya ingin wujudkan cita-cita saya agar semua orang bangga, terutama ayah. Namun apakah ayah akan melihatnya? Aku selalu berdoa agar beliau tenang di alam sana. Masih ada kakek yang akan terus mensuport layaknya ayah, saya begitu menyayanginya dan akan kubuktikan kalau aku akan sukses dan kakek bisa melihat keberhasilan cucunya, karena bahagianya akan sama halnya seperti ayah.
Namun taqdir berkata lain, sebelum sempat membuktikan keberhasilanku, kakek telah lebih dulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, saat itu saya benar-benar terpukul karena kehilangan seorang lelaki yang benar-benar saya sayangi setelah ayah. Saya begitu tak percaya tapi saya sadar, inilah kenyataannya. Y,a kenyataan pahit yang harus aku terima dengan lapang dada, semoga seperti juga ayah, kakek memperoleh ketenangan di alam sana, di tempat yang terbaik. Setelah kejadian itu, saya berfikir bahwa saya tidak boleh terus bersedih, saya harus bangkit ceria lagi karena kita boleh sedih asal jangan larut dalam kesedihan itu. Saya harus benar-benar bersabar dan juga terus bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepada saya baik itu nikmat kecil maupun besar. Karena saya meyakini, tidak pernah merugi orang yang selalu bersyukur .
Saya bertekad akan wujudkan cita-cita saya agar kakek dan ayah saya bangga, kalau boleh jujur saya masih merasa bahwa mereka masih ada, tapi ketika saya benar-benar rindu saya tak pernah bisa menemui mereka meskipun meminta lewat mimpi. Mungkin mereka sudah tenang dan tak ingin saya sedih kembali. Ketahuilah bahwa kehilangan seorang ayah itu bagi saya patah hati yang paling sakit. Siapa yang menginginkan kehilangan anggota keluarganya? Sebaliknya, setiap orang butuh kasih sayang kedua orang tua, ibu dan juga ayahnya. Namun in syaa Allah, tanpa kasih sayang seorang ayah, saya yakin saya kuat, saya harus bersyukur masih dikelilingi orang-orang yang sholeh dan sholehah. Tugas saya sekarang menjadi anak yang sholehah, berbakti kepada orang tua yang masih ada dan mewujudkan cita cita dengan menjadi mahasiswa yang giat belajar .
Saya menuliskan sedikit kisah hidup saya ini bukan semata-mata karena saya ingin belas kasihan dari pembaca, namun saya ingin sedikit berbagi dari pengalaman saya dan tak ingin orang lain merasakan cobaan kehidupan yang saya alami. Pesan saya bersyukurlah jika masih mempunyai keluarga yang utuh, masih punya ibu dan ayah, mereka sangat berjasa dalam hidup kita. Hormatilah mereka, sayangi mereka. Dan bersabarlah ketika mendapat musibah sesakit apapun itu, karena bersabar dan bersyukur adalah kunci kehidupan yang sesungguhnya .
Sebelum saya mengakhiri catatan ini saya punya puisi teruntuk ayah saya, semoga bisa menjadi inspirasi para pembaca untuk lebih menghormati kedua orang tua, terutama ayah.
Aku merindukanmu, Ayah
Ayah ..
Kini aku rasakan hidup tanpamu
Aku sepi hidup tanpamu
Namun ini harus aku jalani
Walau terasa sangat berat ku jalani
Ayah ..
Terimakasih atas semuanya
Semua kasih sayang yang kau curahkan
Semua pengorbanan yang kau lakukan
Kini aku rasakan hidup tanpamu
Aku sepi hidup tanpamu
Namun ini harus aku jalani
Walau terasa sangat berat ku jalani
Ayah ..
Terimakasih atas semuanya
Semua kasih sayang yang kau curahkan
Semua pengorbanan yang kau lakukan
Ayah ..
Kini aku merindukanmu ..
Merindukan saat-saat bersamamu
Merindukan kasih sayang darimu ..
Kini aku merindukanmu ..
Merindukan saat-saat bersamamu
Merindukan kasih sayang darimu ..
Ayah ..
Ingin rasanya aku berjumpa dengan dirimu
Walau hanya dalam mimpi ku
Walau hanya memandang wajahmu
Saat aku butuh ayah
Saat aku rindu ayah
Hanya selembar foto peninggalanmu
Yang dapat mengobati rasa rinduku
Aku sangat merindukanmu ayah ..
Ingin rasanya aku berjumpa dengan dirimu
Walau hanya dalam mimpi ku
Walau hanya memandang wajahmu
Saat aku butuh ayah
Saat aku rindu ayah
Hanya selembar foto peninggalanmu
Yang dapat mengobati rasa rinduku
Aku sangat merindukanmu ayah ..
Itulah catatan dari saya mohon maaf bila banyak kekurangan. Semoga bisa menginspirasi semua yang membacanya J
Sangat menginspirasi. Semoga Cita-citanya tercapai. Tetap menjadi Mahasiswi yang kuat, Bersyukur dan Ikhlas..
BalasHapus