Langsung ke konten utama

Dialektika Konseptual Naskh-Mansukh dalam Hukum Islam

 


Oleh Amin Muhtar, S.Hum., M.H.I.

 

A.      Latar Belakang

Sebagaimana telah menjadi sebuah konvensi masyarakat akademik Islam bahwa pegangan dalam menempuh kehidupan beragama adalah kitab Suci al-Qur’an dan al-Sunnah. Demikian halnya, dalam dua sumber tersebut merupakan embrio munculnya aturan-aturan Allah kepada hamba-hamban-Nya. Pada prinsipnya hukum Islam bersumber dari wahyu Ilahi, yakni al-Quran, yang kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Nabi Muhammad saw. melalui Sunnah dan hadisnya. Wahyu ini menentukan norma-norma dan konsep-konsep dasar hukum Islam yang sekaligus merombak aturan atau norma yang sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakat manusia. Namun demikian, hukum Islam juga mengakomodasi berbagai aturan dan tradisi yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam wahyu Ilahi tersebut.

Dari dua sumber tersebut manusia memiliki tuntutan secara emosional dan kesadaran akan pentingnya menggali hukum yang dikehendaki Tuhannya. Sehingga muncullah para ulama yang mencoba menggali dan menginterpretasikan ayat-ayat dan teks suci tersebut. Mereka itulah yang sering populer diistilahkan mujtahid. Dalam rangka melakukan istinbath[1], seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam mengenai ilmu yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebab, ada keterkaitan erat –salah satu keurgensiannya- perubahan status hukum dengan perbuatan si mukallaf.

Perubahan hukum yang terjadi dalam syariat yang telah disampaikan kitab suci ini merupaka sebuah kajian yang cukup rumit. Dalam kajian-kajian keilmuan Islam sering disebut dengan studi Naskh dan Mansukh.

Dari penjelasan di atas terlihat adanya ketidakpastian atau kekaburan hukum dan syariat dimana dalam satu kasus terdapat dua hukum dalam kerangka historis yang berbeda atau satu peroide hanya dalam batas yang berbeda. Jadi, pada tulisan ini penulisa akan mencoba memaparkan secara sederhana bagaimana kajian naskh dan mansukh dalam ushul fikih.


B.      Dialektika Konseptual Naskh-Mansukh dalam Hukum Islam

1.      Pengertian Naskh

Dalam banyak literatur dapat ditemukan bagaimana para usuliyun menguak hakikat pemaknaan naskh dan mansukh. Berawal dari pemaknaan dari kajian bahasa bahwa kata naskh berasal dari bahasa Arab نسخ- ينسخ- نسخ yang arti sederhananya adalah menghilangkan, membatalkan. Muhammad ibn Ya’qub asy-Syairazi mengatakan bahwa naskh dapat bermakna mencegah, menghilangkan, merubah, dan membatalkan sesuatu unuk kemudian ditempatkan pada semestinya.[2] Dalam kamus lisanul ‘Arab naskh diartikan menyalin, menulis sesuatu yang menjadi lawannya (sebelumnya).[3]

Dalam kaitannya dengan pemaknaan kata naskh dari segi bahasa, as-Syaukani mengajukan pertanyaan yang sangat fundamental, sebenarnya makna yang manakah yang tepat dari beberapa makna yang muncul dari kata naskh ditinjau dari sisi lughawi tersebut?. Disini para pakar lughoh pun berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa makna hakikat kata naskh adalah menghilangkan, sedangkan selain itu hanyalah makna kiasi saja. ini diungkapkan oleh as-Shafi al-Hindi dan kebanyakan para ulama lainnya. Ada yang berpendapat bahwa makna hakikat naskh adalah memindahkan. Al-Qaffal asy-Syasi misalnya menyodorkan sebuah hujah naqli akan pendapat ini:

#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZtƒ Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ  

Artinya: (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat (memindahkan dalam bentuk catatan) apa yang telah kamu kerjakan".[4]

Lain halnya dari kedua pendapat diatas, Qadhi Abu Bakar al-Baqilani, ‘Abdul Wahab dan al-Gazali berpendapat bahwa makna-makna tersebut merupakan makna hakikat dari kata naskh tersebut. Sebab keseluruhan makna tersebut ada dan digunakan dalam komunikasi bahasa. Sehingga mereka memasukan kata naskh kedalam kategori lafad musytarak.[5]

Lanjut as-Syaukani dalam kitabnya, Ibn Munir dalam hal ini memberikan memberikan satu pendapat yang menjadi alternatif kemuskilan pemaknaan kata naskh. Baginya,  kata tersebut memang termasuk msuytarak, namun keisytirakannya hanya sebatas musytarak ma’nawi, bukan lafdzi.[6] Makna naskh secara mendasar ialah ar-rafu’/ mengangkat. Makna ini mencakup makna menghilangkan, membatalkan, dan memindahkan. Sehingga ketika mengatakan “نسخت الشمس الظل” artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan kata “نسختُ الكتاب” artinya saya menyalin kitab memiliki kesamaan hakikat makna, yakni mengangkat wujud bayang-bayang sehingga ia hilang, dan mengangkat sebuh tulisan dari buku menjadi satu salinan tulisan lain.[7] 

Dari sudut bahasa dapat disimpulkan bahwa kata naskh memiliki makna esensial merubah. Dalam praktiknya perubahan tersebut adakalanya menghilangkan dzat yang dirubah dan adakalanya hanya memperbaharuinya sedang dzat yang dirubah tidak dihilangkan.

Untuk selanjutnya, kata naskh masuk pada ranah kajian syar’i. Dimana ia merupakan satu bagian pembahasan yang urgen dalam rangka mengetahui teks-teks mana yang telah terjadi perubahan, baik tulisan maupun maknanya, dan bahkan keduanya. Sebab sebagai rujukan utama dalam penetapan hukum syariat, al-Qur’an maupun al-Sunnah harus teruji keautentikan dilalah hukumnya. Sehingga muncul satu pertanyaan apa dan bagaimana pengertian naskh dalam perspektif syari?.

Naskh secara term syar’I ternyata terpengaruhi pula dari maknanya secara etimologi, pertama, sebagaimana diungkapkan para Usuliyyun – Abu Bakar al-Baqilani, as-Shairafi, Abu Isyhaq asy-Syairazi, al-Ghazali, al-Amudi, dan Ibn Anbari, dall. Mengatakan Naskh ialah titah Allah yang menunjukan adanya penghilangan hukum yang telah ditetapkan oleh titah (Allah) sebelumnya, dimana jika tidak terjadi maka titah awal tersebut akan tetap berlaku karena turun terlebih dahulu.[8]

Imam Taj ad-Din as-Subuki dalam kitab Jam’ul Jawami juga mengungkapkan bahwa naskh ialah menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ lain  yang muncul pada masa belakangan.[9] Dalam hal ini yang dimaksud menghapus ialah menghapus pengaruh hukum syara’ terhadap perbuatan mukalaf.

Sehingga dapat difahami dari keseluruhan definisi tersebut bahwa naskh merupakan penghapusan hukum syariat dengan dalil syar’i yang datang kemudian.

Kedua, ada yang berpendapat bahwa naskh bukanlah merubah, menghilangkan, dan atau membatalkan satu hukum syar’i, akan tetapi naskh difahami sebagai sebuah penjelas, bayan, berakhirnya sauatu hukum syariat dengan adanya syariat baru yang datang kemudian.[10] Definisi sama seperti yang dikatakan an-Nasafi dan asy-Syanqithi, “Naskh hanyalah penjelasan berakhirnya masa hukum yang sebelumnya telah ada dengan munculnya khitab (Titah Tuhan) yang kedua. Sebab syariat yang pertama berlaku sampai datangnya syariat kedua.

Sebenarnya, titah yang pertama sifatnya abadi, namun ketika naasikh (pembuat naskh, Allah) menjelaskan akan ketidak abadian titah tersebut. Maka secara esensial tidak berlakunya yang pertama tidak berarti disebabkan munculnya titah yang kedua, hanya menspesifikkan masanya saja.

Dari pemaparan ini dapat difahami bahwa naskh sebenarnya bukan semata-mata menghilangkan eksistensi suatu hukum yang telah diberlakukan dengan adanya hukum yang datang kemudian, akan tetapi lebih difahami sebagai penghilangan hukum dari sisi keterkaitannya kepada perbuatan manusia saja, sedangkan secara dzatiyah hukum tersebut tidak mungkin dan mustahil dapat dihilangkan.[11] 

Sebagai gambaran Dapat dilihat ketika nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih Ismail. Akan tetapi, perintah itu dibatalkan dengan sebuah tebusan sebelum Ibrahim melakukan penyembelihan. Ini juga dapat dikatakan bentuk naskh sebelum hukum tersebut terlaksana.

Dapat kita lihat bagaimana aplikasi sebuah naskh dalam nash hukum berikut ini:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها تذكركم الآخرة

Dulu daya pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena itu dapat mengingatkanmu tentang akhirat.[12]

Dalam hadits ini pada mulanya Nabi mengharamkan berziarah kubur. Akan tetapi, datang dalil syara’ setelahnya yang menunjukan makna sebaliknya, Berziarah kubur bahkan diperintahkan. Dengan demikian hukum berziarah kubur yang pada mulanya diharamkan dihapus dan diganti dengan hokum baru, yakni boleh. Dari sini muncullah kaidah usul: adanya perintah setelah adanya pelarangan menunjukan kebolehan.

Praktek naskh ini menunjukan ada dalil syara’ yang datang lebih dulu dan telah dibatalkan hukumnya disebut mansukh, dan dalil syara’ yang datang kemudian serta merubah dan menggantikan hukum yang pertama disbebut naasikh.

Dalam hal ini tidak bisa dikatakan nasikh jika dalil yang didatangkan kemudian akan tetapi tidak membatalkan dalil yang mendahuluinya. Dapat dicermati dalam hadits berikut:

كنت نهيتكم عن ادخار لحوم الاضاحى من أجل الدفة التي دفت فكلوا وادخروا

Dulu saya pernah melarang kalian menyimpan daging qurban karena orang-orang berkerumun memerlukannya, (akan teteapi) sekarang makanlah dan simpanlah daging qurban itu.[13]

Dalam hadits ini memakan dan menyimpan daging qurban diperintahkan. Tapi dalil tersebut tidak membatalkan hokum pertama yang menunjukan pelarngan menyimpannya. Sebab larangan tersebut dilator belakangi bahwa saat itu daging qurban sangat dibutuhkan oleh orang banyak. Dan larangan ini masih berlaku sampai sekarang jika situasi tersebut terjadi pada masa sekarang.[14]

2.      Kontroversi Terjadinya Naskh

Sebenarnya keberadaan naskh dalam syariat sudah disepakati oleh para ahli syari’at. Bahkan mereka mengatakan naskh merupakan satu kebolehan yang logis. Hanya segelintir orang saja yang tidak setuju akan keberadan naskh, seperti orang-orang Yahudi, dan Abu Muslim al-Ashfihani. Diluar itu, para ulama sungguh membenarkan adanya naskh dalam hukum Islam.

Pada dasarnya kontroversial keberadaan naskh ini akibat perbedaan dalam interpretasi kata-kata yang terdapat pada nas al-Qur’an yang menunjukan adanya naskh. Berikut dalil-dalil dan hukum naskh:

v      $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ  

Ayat mana saja yang Kami naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?[15]

v      #sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ム(#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ  

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.[16]

v      (#qßsôJtƒ ª!$# $tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãƒur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$# ÇÌÒÈ  

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).[17]

Untuk supaya tidak bertele-tele disini akan langsung dipaparkan argumen para ahli yang tidak sepakat dan sepakat akan keberadan naskh.

a.       Kelompok yang mengingkari naskh

Abu Muslim al-Ashfihani[18], ada beberapa argumen yang ia lontarkan:

1.      Berargumen bahwa naskh pada dasarnya bermakna membatalkan dan meniadakan. Jika naskh terjadi dalam nash-nash al-Qur’an maka tentu dalam al-Qur’an terjadi pembatalan satu nash suci. Ini adalah hal yang sungguh dilarang oleh Allah Swt.

žw ÏmÏ?ù'tƒ ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿwur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@ƒÍ\s? ô`ÏiB AOŠÅ3ym 7ŠÏHxq ÇÍËÈ  

“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.[19]

Jika dalam al-Qur’an terjadi suatu naskh, berarti itu menunjukan satu jalan terwujudnya kebatilan, sebab naskh adalah membatalkan. Dan jelas ini sungguh dilarang[20]. 

2.      Sebenarnya nash al-Qur’an pada umunya mencakup hukum-hukum yang umum dan global, tidak parsial dan spesifik. Oleh karena itu, seluruh syariat dijelaskan secara global dan tidak terperinci. Sehingga yang cocok untuk keadaan tersebut justru tidak terinfeksi satu pembatalan atau naskh dalam al-Qur’an. Adapun hukum yang datang secara terperinci dikarenakan Allah Swt hendak mengabadikannya, sebagaimana terjadi pada kebanyakan hukum-hukum keluarga.[21]

3.      Dalam penafsiran ayat al-Baqarah 106 dan an-Nahl 101, kata ayatan diartikan dengan arti syari’at. Maka ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang dinaskh ialah syariat-syariat yang terdapat yang terdapat dalam kitab-kitab suci kuno, Taurat, dan Injil. Ini sebagaimana merayakan hari sabtu dan beribadah menghadap timur dan barat bersama-sama.

Kemudian kata naskh dalam ayat tersebut diartikan memindahkan ayat dari lauh mahfudz kepada seluruh kitab yang diturunkan kepada manusia. Dan ayat tersebut tidak menunjukan kepastian adanya naskh. Akan tetapi hanya menunjukan adanya kemungkinan terjadi naskh.[22]

Orang Yahudi

Mereka menolak adanya naskh. Naskh dalam al-Qur’an secara logika dan syariat tidak mungkin terjadi. Mereka orang-orang Yahudi yang menolak akan adanya naskh terbagi atas tiga kelompok:

§  Yahudi Syam’uniyah[23] yang mengatakan bahwa naskh mustahil terjadi baik secara nalar maupun sam’i (diambil dari argumen kitab suci). Meraka berargumen bahwa naskh mengandng pemahaman adanya bada; pengetahuan setelah mengalami jahl/ ketidak tahuan, kejelasan setelah ada kesamaran terhdap apa yang dihukumi maslahat bagi yang lain, dan itu mustahil. Allah tidak bersifat jahl dan khafa. Sehingga naskh tidak akan terjadi sebab segala apa yang mengantar pada mustahil adalah mustahil.

Jika memang secara logis naskh bisa terjadi pasti akan ada kasus kumpul dua hal yang bertentangan dalam satu tempat. Sebab, dengan adanya naskh satu hal terkadang dianggap baik dan kadang buruk, dan ini mustahil menurut akal. 

§  Yahudi ‘Inaniyah[24] yang mengatakan bahwa secara logis naskh memang dapat diterima akan tetapi tidak mungkin terjadi dipandang secara sam’i.

§  Yahudi ‘Isawiyah[25] yang mengatakan bahwa naskh bisa terjadi baik dari sisi pandang logika maupun sam’i. Akan tetapi, syariat Islam datang khusus bagi masyarakat Arab dan itu tentu Muhammad bukan diutus kepada bani Israil yang merubah syariat mereka.[26]

Orang Nasrani

Mereka mengingkari adanya naskh di dalam al-Qur’an dan naskh syariat dengan syariat. Bagi mereka suatu syariat tidak dapa dinaskh oleh syariat dan hukum dari suatu syariat tidak dapat dinaskh oleh hukum dari syariat yang datang kemudian untuk mempertahankan agar syariat mereka hidup berdampingan dengan syariat Islam yang datang kemudian.[27]

b.      Kelompok yang menerima naskh

Jumhur ulama telah sepakat menetapkan kebenaran akan adanya naskh dalam al-Qur’an. Naskh dapat diterima baik secara logika maupun syar’i. Ada dua argumen nalar logis yang diajukan jumhur dalam menetapkan keberadaan naskh. Diantaranya:

·         Naskh tidak muncul sebagai suatu yang mustahil secara dzat. Dalam arti hukum disyariatkan demi menciptakan kemaslahatan manusia dan maslahat ini terkadang berubah seiring berubahnya masa, dan individu. Maka satu maslahat dalam satu masa terkadang menjadi suatu madharat di lain masa.[28] Sebagimana minuman obat yang terkadang ia maslahat bagi si A tapi madharat bagi si B. Terkadang ia maslahat di masa ini namun bisa jadi madharat di lain masa.

Apabila difahami bahwa syariat hanya sebagai sebuah ujian dan cobaan bagi manusia maka tida hal mustahi terjadinya naskh. Sebab syarat merupakan salah satu perbuatan Allah dan Ia bebas membuat satu hukum, menghapus atau menetapkannya.

·         Nabi Musa dan ‘Isa As diberi sebuah kabar baik oleh Allah berupa kemunculan nabi Muhammad dan mereka mengharuskan mengikutinya.[29] Allah mengatakan dalam al-Qur’an kepada ‘Isa:


øŒÎ)ur tA$s% Ó|¤ŠÏã ßûøó$# zNtƒótB ûÓÍ_t6»tƒ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ÎoTÎ) ãAqßu «!$# /ä3øs9Î) $]%Ïd|ÁB $yJÏj9 tû÷üt/ £ytƒ z`ÏB Ïp1uöq­G9$# #MŽÅe³t6ãBur 5AqßtÎ/ ÎAù'tƒ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¼çmèÿôœ$# ßuH÷qr& ( $¬Hs>sù Nèduä!%y` ÏM»oYÉit6ø9$$Î/ (#qä9$s% #x»yd ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÏÈ  

dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata."[30]

Juga dijelaskan bagaimana Allah mengancam Yahudi yang tidak iman kepada kerasulan Muhammad setelah adanya petunjuk yang jelas:


* ó=çGò2$#ur $uZs9 Îû ÍnÉ»yd $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# $¯RÎ) !$tRôèd y7øs9Î) 4 tA$s% þÎ1#xtã Ü=ŠÏ¹é& ¾ÏmÎ/ ô`tB âä!$x©r& ( ÓÉLyJômuur ôMyèÅur ¨@ä. &äóÓx« 4 $pkâ:çGø.r'|¡sù tûïÏ%©#Ï9 tbqà)­Gtƒ šcqè?÷sãƒur no4qŸ2¨9$# tûïÏ%©!$#ur Nèd $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqãZÏB÷sムÇÊÎÏÈ   tûïÏ%©!$# šcqãèÎ7­Ftƒ tAqߧ9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöq­G9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ öNßg8pk÷]tƒur Ç`tã ̍x6YßJø9$# @Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$# ãPÌhptäur ÞOÎgøŠn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìŸÒtƒur öNßg÷Ztã öNèduŽñÀÎ) Ÿ@»n=øñF{$#ur ÓÉL©9$# ôMtR%x. óOÎgøŠn=tæ 4 šúïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/ çnrâ¨tãur çnrã|ÁtRur (#qãèt7¨?$#ur uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé& ÿ¼çmyètB   y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÎÐÈ  

“dan tetapkanlah untuk Kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya Kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami". (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[574]. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”[31]

Argumen para ulama jumhur secara sam’i atau tukilan dari kitab-kitab suci akan terjadinya naskh dapat disajikan di sini sebanyak empat argumen sam’iyah[32]:

·         Meniakhi saudara perempuan telah menjadi satu syariat pada masa nabi Adam, akibatnya terjadi tanasul (berketurunan/ beranakpinak). Dalam Taurat disebutkan Allah memerintahkan Adam menikahkan anak perempuannya kepada anak laki-lakinya.[33] Kemudian kejadian ini diharamkan pada syariat nabi-nabi setelahnya secara ittifaq. Dan inilah bentuk naskh.

·         Melakukan istimta’ kepada satu juz atau darah dagingnya sendiri adalah halal bagi nabi ‘Adam, sebab istrinya-Hawa- diciptakan dari tulang rusuknya sendiri sebagimana dalam hadits. Kemudian dinaskh hukum ini bagi syariat setelahnya.

·         Mengumpulkan (menikahi) dua perempuan bersaudara pada masa nabi Ya’qub disyariatkan. Ia pun melakukan demikian, dan dalam Taurat nabi Ya’qub mengkhitbah seorang gadis, lalu ayahnya berkata kepada gadis tersebut: “bukan tradisi dan kelakuan kaum, menikahkan gadis sebelum kaka (gadisnya)nya yang sudah besar, maka nikahilah keduanya bersamaan”. Namun kemudian kejadian ini diharamkan dalam syariat Taurat.

·         Sebelum datang Musa membawa syariat, beribadah pada hari sabtu adalah mubah. Tapi hukum tersebut di naskh dengan syariat Musa. Sehingga secara khusus syariat nabi Musa mengharamkan beramal ibadah pada hari sabtu.

Pada masa nabi Ibrahim tidak berkhitan pun boleh-boleh saja, namun menjadi wajib ketika nabi Musa membawa sebuah syariat, dan bahkan wajib melakukannya pada hari dilahirkannya bayi.

Ulama jumhur menjawab interpretasi yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Ashfihani dengan beberapa tekanan berikut ini: Menurut jumhur kata ayat dalam al-Baqarah 106, an-Nahl 101, adalah ayat al-Qur’an sendiri, bukan syariat. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Tabi’in dan tabi’i Tabi’in. Misal Ibn Najih, Ibn Abi Hatim, ath-Thabari. Selain itu, jika dirunut dalam kajian bahasa kata ayat tidak pernah digunakan oleh orang Arab dalam makna syari’at. Maka ini tidak dibenarkan penggunaan suatu kata bahasa Arab dengan makna yang tidak digunakan oleh orang Arab sendiri.[34]

Juga Abu Musa mengartikan naskh sebagi pemindahan firman Tuhan dari Lauh makhfud ke kitab-kitab lain adalah tidak sesuai dengan makna hakikatnya. Makna hakikta dapat diartika dengan sedemikian rupa jika memang ada qarinah yang membelokannya.[35] Sebenarnya masih banyak yang diutarakan ulama jumhur tentang penentangan mereka akan pendapat yang tidak menerima naskh.

3        Cara Mengetahui Al-Naskh Wa al-Mansukh

Setelah memahami pengertian Al-Naskh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Naskh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut[36] :

a.       Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.

Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.

Hadis tersebut Menaskh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.

b.       Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Naskh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijma’ ulama yang menetapkan hal tersebut.

c.        Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menaskh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

4.      Urgensitas Al-Naskh Wa al-Mansukh Dalam Kajian Hukum Islam

Terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-Naskh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :

a.       Terkait status hukum Islam.

b.       Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum.

c.        Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.

d.       Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri

e.       Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad

f.         Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.

C.      Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa naskh merupakan penghapusan hukum syariat dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Akan tetapi naskh sebenarnya bukan semata-mata menghilangkan eksistensi suatu hukum yang telah diberlakukan dengan adanya hukum yang datang kemudian, tetapi lebih difahami sebagai penghilangan hukum dari sisi keterkaitannya kepada perbuatan manusia saja, sedangkan secara dzatiyah hukum tersebut tidak mungkin dan mustahil dapat dihilangkan.

Keberadaan naskh dalam syariat sudah disepakati oleh para ahli syari’at. Bahkan mereka mengatakan naskh merupakan satu kebolehan yang logis. Hanya segelintir orang saja yang tidak setuju akan keberadan naskh, seperti orang-orang Yahudi, dan Abu Muslim al-Ashfihani. Diluar itu, para ulama sungguh membenarkan adanya naskh dalam hukum Islam. Dasar kontroversial keberadaan naskh ini akibat perbedaan dalam interpretasi kata-kata yang terdapat pada nas al-Qur’an yang menunjukan adanya naskh. Berikut dalil-dalil dan hukum naskh.

Untuk Mengetahui Al-Naskh Wa al-Mansukh dapat dari apa yang Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat, kesepakatan umat antara ayat yang di Naskh, atau Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua.

Sedangkan mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath Hukum, ada alasan-alasan yang menjadi kajian terhadap naskh menjadi urgen, yakni: terkait status hukum Islam, Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam proses istinbath Hukum, Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an, Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri, Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad, Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat. 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Baidhawi, Minhaj al-Wushul ila ‘Ilmil Ushul, (Kardastan Ilmiyah: Kairo, 1326 H).

Az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith,  (Dar al-Shafwah: Kairo, 1988).

Dr. Nadiyah Syarif ‘Amri, an-Naskh fi Dirasah al-Usuliyyin- Dirasah Muqaranah, (Muasasah ar-Risalah, Bairut: 1985).

Forum Karya Ilmiyah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, (Purna Siswa Aliyah 2004: Lirboyo, 2008).

Ibn Mandzur, Lisanul ‘Arab,

Lembaga penyelenggara penterjemah Kitab Suci al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjamahnya, (Yamunu: Jakarta, 2000)

Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004.

Muhammad ibn Ali ibn Muhammad As-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushul, Bairut: Darul Fikr, tt.

Muhammad ibn Ya’qub asy-Syairazi, Qamus al-Muhith, Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-Dauliyah, tt

Ratna, Nyoman Khuta, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004), hlm. 47.

Taj ad-Din as-Subuki, Jam’ul Jawami, (al-Biqa: Dar Ibn ‘Abud, 1995). Hlm. 75-76 juz 2

Prof. Dr. Muhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurahman,  Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (al-Ma’arif: Bandung, 1986).

 


[1] Istinbath ialah proses peggalian hukum dari nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah.

[2] Muhammad ibn Ya’qub asy-Syairazi, Qamus al-Muhith.

[3] Lisanul ‘Arab

[4] Al-Jaasyiah: 29

[5] As-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm. 783

[6] Musytarak ma’nawi ialah satau kata yang memiliki satu makna yang mencakup afrad/ parsial-pasial yang banyak. Sedangkan msuytarak lafdi adalah satu lafadz yang memiliki dua makna hakikat atau lebih.

[7] Opcit, hlm. 783-784.

[8] Ibid, hlm. 785

[9] Taj ad-Din as-Subuki, Jam’ul Jawami, (al-Biqa: Dar Ibn ‘Abud, 1995). Hlm. 75-76 juz 2

[10] Al-Baidhawi, Minhaj al-Wushul ila ‘Ilmil Ushul, (Kardastan Ilmiyah: Kairo, 1326 H) hlm.

[11] Dr. Nadiyah Syarif ‘Amri, an-Naskh fi Dirasah al-Usuliyyin- Dirasah Muqaranah, (Muasasah ar-Risalah, Bairut: 1985) hlm. 46-47.

[12] H.R. Muslim dan Abu Daud.

[13] H.R. an-Nasai

[14] Prof. Dr. Muhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurahman,  Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (al-Ma’arif: Bandung, 1986) hlm. 423.

[15] Al-Baqarah: 106

[16] An-Nahl: 101

[17] Ar-Ra’du: 39

[18] Abu Muslim al-Ashfihani nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Bahr al-Ashfihani, dari keluarga Asfhan yang merupakan tokoh besar dalam kelompok mu’tazilah. Karyanya yang masyuhr seperti Jami at-Ta’wil fi at-Tafsir sebanyak empat belas jilid, dan kitab Majmu’ Rasailih. Ia lahir tahun 254 H dan meninggal tahun 322 H. (al-A’lam 6/273).   

[19] Fushilat: 42

[20] Ibid, hlm. 97- 98

[21] Ibid,

[22] Prof. Dr. Muhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurahman,  Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (al-Ma’arif: Bandung, 1986) hlm. 425-426. Dan Prof. Dr. Muh. Hasbi ash-Shiddiqi mendukung sekali pendapat ini.

[23] Mereka adalah golongan Yahudi yang mengklaim bahwa tidak ada syariat kecuali apa yang dibawa oleh Musa. Dan ini adalah syariat yang sempurna, sehingga tidak ada syariat lain sebelumnya kecuali hanya batasan-batas nalar, akal, dan hukum/ penilaian-penilaian maslahat semata. Dan mereka tidak memperkenankan adanya naskh secara logika. Mereka berpendapat juga bahwa setelahnya pun tidak ada syariat sebab naskh dalam segala hal adalah bida (pengetahuan setelah mengalami jahl/ ketidak tahuan) sedangkan tidak boleh adanya yang mendahului kepada Allah.

[24] Yakni golongan Yahudi yang menisbatkan diri pada seorang lelaki yang bernama ‘Inan ibn Daud, seorang pemimpin Jalut yang menyalahi sebgaian Yahudi lain pada masalah ibadah hari sabtu dan hari raya-hari raya. Mereka sangat kurang dalam memakan burung dan dziya, dan menolak terjadinya naskh secara sam’i.

[25] Yakni golongan Yahudi yang menisbatkan diri kepada Abu ‘Isa Ishaq ibn Ya’qub al-Ashfihani yang hidup pada masa al-Manshur. Ia mulai malakukan dakwahnya di akhir dinasti Bani Umayyah dan mereka mengakui akan kenabian Muhammah bagi masyarakat Arab saja.

[26] Dr. Nadiyah Syarif ‘Amri, an-Naskh fi Dirasah al-Usuliyyin- Dirasah Muqaranah, (Muasasah ar-Risalah, Bairut: 1985) hlm. 60-61.

[27] Opcit,  hlm. 427

[28] Ibid, hlm. 62

[29] Ibid, hlm. 63-64

[30] Ash-Shaf: 6

[31] Al-‘Araf: 156-157

[32] Ibid, hlm. 67-

[33] At-Thabari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud dan ibn ‘Abas bahwa Allah tidak memberikan anak laki-laki bagi Adam kecuali bersamaa seorang anak perempuan, kemudian ia menikahkan silang anak perempuan dan anak laki-lakinya. 

[34] Prof. Dr. Muhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurahman,  Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (al-Ma’arif: Bandung, 1986) hlm. 429-430.

[35] Ibid,

[36] Ibid, al-Qathan, Mabahits....hlm. 233

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah yang tidak berhenti, membuktikan bahwa penyakit hanya menggerogoti fisiknya, bukan jiwanya

Pada entri pertama ini, Perpus STAIMA akan mengangkat kisah perjuangan salah seorang mahasiswa STAIMA yang telah melalui masa-masa berat melawan penyakitnya. Semoga kisah ini dapat menginspirasi dan mendatangkan semangat agar kita tidak berputus asa dan terus semangat menghadapi segala kesulitan. Ditemui di Perpustakaan STAI Al-Ma’arif Ciamis (12/01/2019), Rano (20) mahasiswa semester empat Program Studi Manajemen Pendidikan Islam STAI Al-Ma’arif Ciamis bersedia membagi pengalaman dan kekuatannya melalui masa-masa sulit ketika tumor di pembuluh darah menggerogoti tubuhnya di sekitar wajah dan kepala. Tanpa sama sekali merasa keberatan, Rano menceritakan awal mula sakit yang dideritanya sejak dirinya baru lulus dari Madrasah Ibtidaiyah. Itu tahun 2011 usianya baru menginjak 13 tahun, saat Rano tiba-tiba saja mengalami pendarahan dari dalam hidungnya. Jelas bukan mimisan biasa karena darah yang mengucur sulit dihentikan disertai dengan gumpalan-gumpalan cukup besar mi...

ANALISIS DESKRIPTIF TENTANG KOMPETENSI BERBAHASA GURU BAHASA ARAB SAAT MENGAJAR DI SMA NEGERI 1 CIAMIS

  ANALISIS DESKRIPTIF TENTANG KOMPETENSI BERBAHASA GURU BAHASA ARAB SAAT MENGAJAR DI SMA NEGERI 1 CIAMIS               Oleh : Deni Supriadi, S.S, M.A.                 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-MA’ARIF CIAMIS Jl. Umar Saleh Imbanagara Raya Ciamis 46211 Telp./Fax. (0265) 772589 E-mail: stai_almaarif@yahoo.co.id 2020 ANALISIS DESKRIPTIF TENTANG KOMPETENSI BERBAHASA GURU BAHASA ARAB SAAT MENGAJAR DI SMA NEGERI 1 CIAMIS       Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk memperoleh gambaran tentang Analisis Kompetensi Profesional Guru Bahasa Arab saat Mengajar di SMA Negeri 1 Ciamis . Metode yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif dengan jenis deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan angket. Teknik analisis data   menggunakan analisis deskriptif dalam bentuk tabel frekuensi. Hasil peneliti...

PEMIKIRAN TAFSIR ABU HAYYAN AL-ANDALUSI DALAM AL-BAHR AL-MUHITH

Oleh H. Ahmad Ridla Syahida, Lc., M.Ag. ridla.ars@gmail.com Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Arab STAI Al-Ma’arif Ciamis BAB I PENDAHULUAN Bagi kaum muslimin, Al-Quran selain dianggap sebagai kitab suci ( scripture ), ia juga merupakan kitab petunjuk (QS. Al-Baqarah:2). Oleh karena itu, ia selalu dijadikan rujukan dan mitra dialog dalam menyelesaikan problem kehidupan yang mereka hadapi. Al-Quran benar-benar bukan hanya menempati posisi sentral dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman, melainkan juga menjadi inspirator dan pemandu gerakan dan dinamika umat islam sepanjang kurang lebih empat belas abad yang lalu. Hingga kini gema keagungan Al-Quran masih dirasakan pengaruhnya oleh setiap jiwa insan qurani. Bagaimana sejarah mencatat bahwa umat islam pada masa awal tidak hanya membaca Al-Quran, tetapi mampu memahami dan mengkontekstualisasikan Al-Quran kedalam nilai-nilai praktis, menjadi etos kerja, dan etos berperadaban yang tinggi.Tidaklah salah jika Al-Quran menjadi sala...