Oleh: Nela Azizah, S.E.Sy., M.E.
Dosen Prodi Ekonomi Syariah STAI
Al-Ma’arif Ciamis
I.
PENDAHULUAN
Bank merupakan suatu lembaga bisnis, dan
sistem bunga menjadi suatu mekanisme bank untuk pengelolaan peredaran dana
masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki dana, dapat – bahkan diimbau untuk
– menitipkan dana mereka yang tidak digunkan pada bank untuk jangka waktu
tertentu. Kemudian bank meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain
yang membutuhkan dana untuk usaha dalam jangka waktu tertentu pula. Anggota
masyarakat yang meminjam dana dari bank pada umumnya untuk dipergunakan sebagai
modal usaha, bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Dan dia akan mendapat
keuntungan dari usahanya yang dimodali oleh bank tersebut.[1]
Pembahasan tentang bank mengalami banyak
kontroversi terutama mengenai status hukum bunga bank, khususnya masyarakat
muslim di seluruh dunia yang sering kali bertanya-tanya apakah bunga bank itu
halal, haram ataukah subhat. Hal ini menjadi topik pemikiran bagi cendekiawan
dan tokoh ekonomi modern dalam memecahkan status hukum bunga bank.
II.
PANDANGAN
TOKOH EKONOMI MODERN TERHADAP BUNGA BANK
A.
Pengertian Bunga Bank
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
bunga adalah balas jasa dengan penggunaan uang atau modal yang dibayar pada
waktu disetujui yang umumnya dinyatakan
sebagai prosentase dari modal.[2] Bunga bank adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang diambil
oleh bank atas utang.
Bunga umumnya timbul dari sejumlah
uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital” atau “modal”[3]
berupa uang. Dan bunga itu juga dapat disebut dengan istilah “rente” juga
dikenal dengan “interest”.[4]
Menurut Goedhart dalam Harahap, bunga atau rente itu adalah perbedaan
nilai, tergantung pada perbedaan waktu yang berdasarkan atas perhitungan
ekonomi.[5]
Bunga bank dapat diartikan sebagai
balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional
kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.[6]
Bunga juga dapat diartikan sebagai harga[7]
kepada deposan (yang memiliki simpanan) dan debitur (nasabah yang
memperoleh pinjaman) yang harus dibayar kepada bank.
Sesungguhnya bunga telah dianggap penting
demi keberhasilan pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi
Islam mempertimbangkan bunga itu sebagai kejahatan yang menyebarkan
kesengsaraan dalam kehidupan.[8]
B.
Macam-Macam Bunga Bank
Dalam kegiatan perbankan ada 2 macam bunga
yang diberlakukan kepada nasabahnya, yaitu:
1.
Bunga Simpanan (Funding)
Adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa
bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga
yang harus dibayarkan bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh: Jasa giro (Demand Deposit),[9] Bunga tabungan (Saving Deposit),[10]
Bunga deposito (Time
Deposit)[11] dan Rekening Koran (Current Account).[12]
2.
Bunga Pinjaman (Landing)
Adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang
harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga kredit.[13]
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang
diterima dari nasabah.
C.
Pandangan
Tokoh Ekonomi Modern Terhadap Bunga Bank
Lembaga
perbankan belum ada pada era ulama fiqh klasik. Sebab itulah dalam literatur fiqh klasik tidak dijumpai
pembahasan yang mengaitkan antara riba dan bunga perbankan. Bahasan bunga bank
apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literatur fiqh
kontemporer dan dikaji oleh para ekonom modern, baik di Indonesia maupun dunia.
1.
Pandangan
Tokoh Ekonomi Indonesia Terhadap Bunga Bank
a.
Mohammad Hatta
Moh. Hatta merupakan salah seorang tokoh
ekonomi sekaligus Wakil Presiden pertama RI yang juga dijuluki Bapak Koperasi
Indonesia. Beliau berpendapat bahwa bunga bank untuk kepentingan produktif,
yakni orang meminjam uang bukan untuk dimakannya, tetapi dijadikan modal
perusahaan yang nantinya akan menghasilkan keuntungan, adalah hak bagi bank
yang meminjamkan itu untuk mendapat keuntungan dari uangnya yang dipergunakan
orang tersebut. Dan bunga tersebut bukan riba, apabila untuk kepentingan konsumtif itu riba. Moh.Hatta
menghukumi riba pada pinjaman konsumtif. Beliau menyatakan bahwa pinjaman yang
tujuannya untuk produktif tidaklah haram tetapi kalau tujuannya untuk konsumtif
adalah haram.[14]
b.
Syafruddin Prawiranegara
Beliau
adalah pakar
ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Menurut
beliau sistem
perbankan modern yang menerapkan sistem bunga diperbolehkan, karena didalamnya
tidak mengandung unsur eksploitasi yang zalim, oleh karenanya tidak perlu
didirikan bank tanpa bunga.[15]
c. Muhammad
Syafi`i Antonio
Muhammad
Syafi`i Antonio dikenal luas sebagai tokoh perbankan, ikon keuangan dan pakar
ekonomi syariah di Indonesia. Dalam salah satu bukunya yang berjudul “Bank
Syariah Dari Teori Ke Praktik” beliau menjelaskan berbagai argumen naqli dan
aqli hingga sampai pada kesimpulan bahwa praktik membungakan uang merupakan
salah satu bentuk riba yang hukumnya haram.[16]
d. Agustianto
Agustianto adalah salah seorang pakar ekonomi syariah Indonesia yang merupakan Anggota DSN MUI dan Ketua 1 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia juga Dosen Pasca Sarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah UI. Beliau sependapat dengan hasil penelitian ilmiah para pakar ekonomi Islam dunia yang telah menyimpulkan bahwa bunga dan riba benar-benar sama/identik. Bahkan bunga bank yang dipraktekkan saat ini jauh lebih zalim dari riba jahiliyah. Namun, sebagian kalangan masyarakat awam, masih menyangka bahwa persoalan hukum bunga bank masih khilafiyah. Yang dimaksudkan awam dalam hal ini adalah awam dalam ilmu ekonomi dan moneter Islam, meskipun mereka intelektual muslim dalam bidang agama. Padahal yang sebenarnya ialah para ulama yang ahli ilmu ekonomi telah menyatakan ijma’ tentang keharaman bunga bank. Hal itu tidak diragukan lagi.[17]
e.
Ma’ruf Amin
Beliau adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI
Pusat yang menguasai ilmu ekonomi Islam. Beliau mengatakan bahwa dibolehkannya
bunga dalam keadaan dharurat
(keterpaksaan) karena
waktu itu belum ada satu pun bank syari’ah, setelah ada bank syari’ah maka kedharuratan itu telah hilang. Beliau menafsirkan ad’afan muda’afah sebagai kondisi darurat. Ketika sekarang sudah ada perbankan
syari’ah yang tidak menganut sistem bunga tetapi sistem bagi hasil maka bunga
bank hukumnya haram, karena unsur darurat sudah tidak bisa diperlakukan lagi.[18]
2.
Pandangan
Tokoh Ekonomi Dunia Terhadap Bunga Bank
a.
Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi
Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi merupakan salah seorang pakar
ekonomi Islam dunia. Dalam salah satu bukunya “Muslim Economic Thinking”
yang diterjemahkan oleh A.M Sefuddin dengan judul “Pemikiran Ekonomi Islam”,
beliau berpendapat bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian
banyak sumber keburukan ekonomi, seperti depresi dan monopoli.
Alasan-alasan yang digunakan Muhammad Netajullah Shiddiqi dalam
mengharamkan bunga adalah sebagai berikut:
1)
Bunga bersifat menindas (zhalim) yang menyangkut pemerasan. Dalam
pinjaman konsumtif seharusnya yang lemah (kekurangan) ditolong oleh yang kuat
(mampu), tetapi dengan bunga pada awalnya orang lemah ditolong kemudian
diharuskan membayar bunga, itu tidak ditolong, tetapi memeras.
2)
Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang
kaya (kuat) yang kemudian dapat menciptaan ketidakseimbangan kekayaan. Ini
bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak Allah
yang menghendaki penyebaran pandapatan dan kekayaan adil. Islam menganjurkan
kerjasama dan persaudaraan dan bunga bertentangan dengan itu.
3)
Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam
modal dapat menerima setumpukan kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga
mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Cara ini berbahaya
bagi masyarakat juga bagi pribadi orang tersebut.[19]
b.
Abul A'la Al Maududi
Abul A'la Al Maududi adalah salah seorang pemikir Islam asal
Pakistan yang menguasai beragam disiplin ilmu termasuk bidang teologi, politik
dan ekonomi. Pandangannya tentang bunga bank ialah mengharamkannya dengan alasan-alasan
sebagai berikut:[20]
1)
Bunga pada pinjaman konsumtif memindahkan sebagian daya beli
sekelompok orang yang kecenderungan konsumsinya tinggi kepada kelompok yang
kecenderungannya rendah, kelompok yang kecenderungannya rendah menanamkan
kembali pendapatannya dari bunga seperti modal baru. Hal ini berarti
permintaan konsumen turun yang diikuti dengan kenaikan produksi.
2) Bunga pada pinjaman produktif meningkatkan ongkos produksi sehingga menaikkan harga barang-barang konsumsi. Maksudnya bahwa pinjaman produktif dapat menaikkan harga produksi yang berarti penaikkan harga-harga barang.
c.
Muhammad
Baqir as-Sadr
Muhammad
Baqir as-Sadr ialah salah satu tokoh ekonom muslim kontemporer, hadir dengan ide
menawarkan sistem ekonomi Islam yang digali dari landasan doktrinal Islam yakni
al-Qur’an dan al-Hadis. Magnum opus yang menjadi dedikasi luar biasa Sadr
terhadap pemikiran ekonomi Islam diwujudkan dalam “Iqtishaduna” yang
telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa sampai saat ini. “Our Economic”
merupakan salah satu bentuk transformasi bahasa tersebut. Banyak tokoh cendikiawan
muslim yang merasa bahwa melalui Iqtishaduna dapat ditemukan bagaimana
seharusnya sistem ekonomi Islam . Syafi’i Antonio sebagai pakar ekonomi Islam
yang mashur di Indonesia, menyatakan karya Baqir Sadr ini merupakan karya
pionir yang cukup komperhensif dalam literatur ekonomi Islam.[21]
Secara umum Sadr berpendapat bahwa riba adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari interaksi ekonomi masyarakat. Namun khusus tentang bunga bank, Baqir As-Sadr mengemukakan beberapa alasan hukum tentang kebolehan mengambil bunga bank konvensional untuk digunakan bagi kemaslahatan umum. Dasar hukum terkuat beliau adalah pendapat yang menyatakan bahwa dibolehkan melakukan transaksi dengan non muslim, sebagaimana pendapat ulama mazhabnya, dan ulama mazhab yang lain, seperti mazhab Hanafi. Dasar pertimbangan semacam ini tidak disetujui oleh ulama-ulama bermazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, dengan alasan bahwa riba pada dasarnya haram, dan ketetapan hukum ini berlaku terhadap siapa saja, baik muslim maupun non-muslim.
d. Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi
Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi merupakan dua ilmuwan muslim
kaliber dunia yang menguasai berbagai bidang keilmuan, baik fiqih, teologi,
sosial, politik juga ekonomi.
Menurut Wahbah
Az-Zuhaili, bunga bank termasuk riba al-nasi’ah. Karena, bunga bank
termasuk kelebihan atau tambahan yang dipungut dengan tidak disertai imbalan
melainkan semata-mata karena penundaan tenggang waktu pembayaran.[22]
Adapun riba nasi`ah biasa disebut dengan riba jahiliyah. Masyarakat
saat ini menyebutnya dengan pembayaran hutang yang ditunda pembayarannya.
Wahbah Az-Zuhaili juga mengatakan mengambil bunga bank sedikit atau banyak
termasuk dari riba.
Hal senada juga dinyatakan oleh Yusuf
Qardhawi. Pendapatnya dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Bunga Bank Haram”. Menurutnya bunga bank haram karena termasuk
dalam riba
nasi’ah.[23] Dan dalam bukunya “Al-Halal Wa Al-Haram Fi Al-Islam”,
Yusuf Qardhawi juga berpendapat bahwa bunga bank
haram karena termasuk perolehan yang berlipat ganda.[24]
e.
Afzalur Rahman
Afzalur Rahman adalah seoarang cendekiawan muslim pencipta Ensiklopedi Muhammad
yang memiliki penguasaan yang mendalam di bidang ekonomi Islam.
Beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Islam telah mempertimbangkan bunga
itu sebagai suatu kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan dalam
kehidupan. Oleh karena itu al-Quran menyatakan haram terhadap bunga bagi
kalangan masyarakat Islam. Oleh karena bunga telah mendarah daging di
dalam kehidupan ekonomi masyarakat Islam, Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana telah mewahyukan perintah-Nya terhadap larangan bunga (seperti halnya
larangan terhadap alkohol) secara berangsur-angsur sehingga tidak begitu
mengganggu kehidupan ekonomi masyarakat, serta menyebabkan kekecewaan dan
kesulitan bagi masyarakat.[25]
f.
Muhammad
Umer Chapra
Muhammad Umer Chapra
merupakan salah satu ekonom kontemporer Muslim yang sangat prestisius dan paling terkenal
pada zaman modern ini di Timur dan Barat. Beliau pernah mendapat Award Faisal dari kerajaan
Saudi Arabia lantaran karya-karyanya yang spektakuler di bidang ekonomi
Islam, antara lain “Toward a Just
Monetary System” dan “Islam
and the Economics Challenge.” Beliau menganalisis
bunga bank dari sudut sosio-ekonomi dan menyampaikan ijma’nya ulama tentang keharaman
hukum bunga bank dalam buku “The Future of Islamic Econmic”.[26] Pengharaman
dimaksud, melalui keputusan yang sudah puluhan kali konferensi, muktamar, simposium
dan seminar, sehingga para ahli ekonomi Islam dunia menemukan terwujudnya
kesepakatan para ualama tentang bunga bank. Hal ini tidak satupun para pakar
yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga bank mempunyai status hukum syubhat atau
boleh. Mereka semua mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun
produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah menimbulkan dampak
sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia
yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000,
adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.
3. Ijma` Tokoh Ekonomi Islam Dunia Tentang Keharaman
Bunga Bank
Dari berbagai riset yang telah
dilakukan oleh salah satu ekonom kenamaan dunia Muhammad Umer Chapra, diperoleh
hasil penelitian bahwa suatu kekeliruan besar jika ada orang yang mengatakan
bahwa ulama saat ini berbeda pendapat tentang status hukum bunga bank. Demikian
juga sangat keliru pendapat yang mengatakan bahwa bunga berbeda dengan riba.[27]
Penelitian ilmiah yang dilakukan
oleh seluruh pakar ekonomi Islam dunia telah menyimpulkan bahwa bunga dan riba
benar-benar sama/identik. Bahkan bunga bank yang diperaktikan saat ini jauh
lebih zalim dari riba jahiliyah. Ulama (pakar) yang mengatakan ijma`nya ulama
tentang keharaman bunga bank bukan sembarang ulama dan bukan satu dua orang,
melainkan para ulama yang ahli ilmu ekonomi yang umumnya mereka sarjana ekonomi
Barat. Kapasitas mereka sebagai ilmuwan ekonomi Islam tidak diragukan sedikit
pun. Jumlah mereka sangat banyak. Hasil karya intelektual mereka tentang
ekonomi syariah yang telah dipublikasikan, sejak tahun 1960-an sampai sekarang,
lebih dari 2300 buah dalam bentuk buku dan tulisan di jurnal-jurnal ilmiah.[28]
Sebagian nama-nama mereka antara
lain: 1. Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, 2. Prof. Dr. Muhammad Abdul Mannan, MA,
3. Prof. Dr. M.Umer Chapra, 4. Prof. Dr. Masudul Alam Khudary, 5. Prof. Dr.
Monzer Kahf, 6. Prof. Dr. M.Akram Khan, 7. Prof. Dr. Kursyid Ahmad, 8. Prof.
Dr. Dhiauddin Ahmad, 9. Prof. Dr. Muhammad Muslehuddin, 10. Prof. Dr. Afzalur
Rahman, 11. Prof.Dr. Munawar Iqbal Quraisy, 12. Prof. Dr. Hasanuz Zaman,
13. Prof. Dr. M.Sudin Haroen, 14. M. Fahim Khan, 15. Prof. Dr. Volker Ninhaus,
16. Dr. Mustaq Ahmad. 17. Dr. Abbas Mirakhor, 18. Ausaf Ahmad, 19. Rauf Ahmed
Azhar, 20. Syed Nawab Haidar Naqvi, 21. Baqir al-Sadr, 22. Ahmad Najjar, 23.
Ahmad Shalah Janjum (Pakistan), 24. Muhammad Ahmad Sakr, 25 .Kadim Al-Sadr, 26.
Abdul Hadi Ghanameh, 27. Manzoor Ali, 28. Dr. Ali Ahmad Rusydi, 29. Dr.
Muhammad Ariff, 30. Dr. Zubeir Hasan, 31.Prof. Dr Muhammad Iqbal Anjum, 32.
Prof. Dr. Mazhar Islam, 33. Dr. Fariruddin Ahmad, 34. Dr. Syahadat Husein
35.Dr. Badruddin (Oman) 36. Dr. Mabid Ali Al-Jarhi, 37. Prof. Dr. Anas
Zarqa, 38. Dr. Muhammad Uzei, 40. Dr. F.R. Faridi, 41. Dr. Mahmud Abu Su’ud.
42. Dr. Ijaz Shafi Ghilani, 43. Dr. Sahabuddin Zain, 44. Mukhtar
M.Metwally, 45. Dr. Hasan Abu Rukba, 46. Muhammad Hameedullah, 47. B.S Sharraf
48. Dr. Zubair Hasan, 49. Skharur Rafi Khan, 50. Prof. Dr. Mahmud Ahmad.[29]
Selain itu perlu ditambahkan juga
bahwa seluruh pusat Riset Ekonomi Islam yang tersebar di berbagai negara juga
sepakat tentang keharaman bunga bank. Pernyataan Yusuf Qardhawi yang juga mengatakan
ijma` ulama tentang keharaman bunga bank dikutip dan dikuatkan lagi oleh Ali
Ash-Shobuni (ulama terkemuka dari Mesir) dalam buku Jarimah Ar-Riba. Ali-Ash-Shobuni
adalah ahli hukum Islam dan tafsir ahkam. Beliau mengatakan bahwa para ahli
ekonomi Islam telah ijma` tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan itu terjadi
berkali-kali di forum ulama internasional sejak tahun 1973 sampai saat ini.
Menurutnya, tahun 1976 telah dilaksanakan Konferensi Ekonomi Islam sedunia di
Mekah yang dihadiri 300 ulama dan pakar keuangan Islam. Tidak seorangpun
diantara pakar ekonomi Islam itu menolak keharaman bunga bank. Bahkan sebelum
tahun 1976, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI yang berasal dari 44 negara
sepakat tentang keharaman bunga tersebut. Namun, harus diakui, adanya
segelintir kecil ulama fikih yang meragukan keharaman bunga bank, tidak bisa
menggugurkan ijma` ulama, kata Yusuf Qardhawi. Segelintir ulama fikih itu
(intelektual muslim) tidak paham tentang ilmu moneter dan teori-teori ekonomi
modern, khususnya ekonomi makro. Kapasitas keilmuan mereka tentang moneter
tidak memadai. Mereka malah ada yang tidak mengerti kalau riba termasuk ekonomi
makro, apalagi dampak negatif riba terhadap inflasi, investasi, produksi dan
tenaga kerja.[30]
III.
PENUTUP
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas
jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada
nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga kepada deposan (yang memiliki simpanan) dan
kreditur (nasabah yang memperoleh pinjaman) yang harus dibayar kepada bank.
Dengan demikian terdapat 2 macam bunga yang diberlakukan bank kepada
nasabahnya, yaitu bunga simpanan (funding)
yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan
uangnya di bank seperti bunga tabungan, dan bunga pinjaman (lending) yang diberikan kepada para peminjam atau
harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank seperti bunga
kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah.
Hukum bunga bank menurut para ahli ekonomi
modern terbagi kedalam dua kelompok:
1.
Kelompok minoritas menghukumi bunga bank
tidak haram, antara lain dengan catatan: untuk pinjaman produktif (Moh. Hatta),
karena didalamnya tidak mengandung unsur eksploitasi yang zalim (Syafruddin
Prawiranegara), atau untuk digunakan bagi
kemaslahatan umum dan jika transaksinya dengan non muslim (Muhammad Baqir As-Sadr).
2.
Kelompok mayoritas menghukumi bunga bank sebagai riba yang hukumnya
haram. Para pakar ekonomi kontemporer yang menyatakan demikian ialah Muhammad
Nejatullah Shiddiqi, Muhammad Umer Chapra, Muhammad Syafi`i Antonio,
Agustianto, Afzalur
Rahman dan lain-lain. Bahkan Umer Chapra menyatakan bahwa para ekonom dunia
telah ijma` (sepakat) perihal hukum haramnya bunga bank.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto, Ijma’ Ulama Tentang Keharaman Bunga Bank,
2011.
Antonio,
Muhammad Syafi`i, Bank Syariah Dari Teori
Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Chapra, M.
Umer, The Future of Economics: An Islamic
Perspective, terjemahan Amdiar Amir, et. Al, Jakarta:
Syariah Economics and Banking Institute, 2001.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Fachruddin,
Fuad Moch, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan Dan Asuransi, Bandung: PT.
Al-Ma’arif, 1993.
Hambali,
Muhammad, Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqir As-Sadr, 2009.
Harahap,
Syahirin, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum
Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993.
Khaldun, Ibn, Muqaddimah, Terj. Ahmadie Thoha, Muqoddimah Ibnu Khaldun, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000.
Komaruddin, Kamus
Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Masyhur, Kahar,
Beberapa Pendapat Mengenai Riba, Jakarta
: Kalam Mulia, 1992.
Prawiranegara,
Syafruddin, Polemik Reaktualisasi Ajaran
Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.
Purwaningsih,
Sri, dan Poniman, Akuntansi Pengantar I
Untuk Sekretaris, Semarang: Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri
Semarang, 1999.
Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Qardhawi, Yusuf, Fawaid
al-Bank Hiya ar-Riba Haram, Jakrta:
Ulamah Press, 2000.
Qardhawi,
Yusuf, al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam,
Darul Ma’rifah, 1985.
Rahman,
Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam
Jilid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996.
Rahman,
Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.
Sjadzali,
Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta:
Paramadina, 1997.
Suhendi, Hendi,
Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Tunggal, Iman
Sjahputra, Arif Djohan Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Peraturan Perundang-undangan Perbankan di Indonesia, Jakarta:
Harvarindo, 2003.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 2003.
Zuhaily, Wahbah
al-, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu,
Juz IV, Beirut: Dar al Fikr, 1989.
[1] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, Hlm. 14.
[2] Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Hlm. 137.
[3] Modal (capital) adalah istilah untuk menyatakan sisa hak atas harta didalam
perusahaan perusahaan setelah dikurangi dengan seluruh utang perusahaan. Dan
modal itu ada tiga yaitu modal sendiri, modal sumbangan, modal penilaian
kembali. Sri Purwaningsih, SE, Poniman, SE, Akuntansi Pengantar I Untuk Sekretaris, Semarang: Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang,
1999, Hlm. 21-22.
[4] Drs.
Syahirin Harahap, Bunga
Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1993, Hlm. 18.
[5] Ibid, Hlm.
19.
[6] Komaruddin, Kamus
Perbankan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, edisi
baru, 1994, Hlm. 80.
[7] Menurut
Ibn Khaldun, harga merupakan nilai atau patokan suatu barang yang mendatangkan
suatu keuntungan dari berbagai bidang, lihat Ibn Khaldun, Muqaddimah, Terj. Ahmadie Thoha, Muqoddimah
Ibnu Khaldun, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000, Hlm. 473.
[8]Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, Jilid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, cet. II, 2002, Hlm. 76.
[9] Giro adalah simpanan yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana
perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindahbukuan. Dalam
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998.
Lihat pada Iman Sjahputra Tunggal SH, CN, LLM, Drs. Arif Djohan Tunggal, SH.,
Drs. Amin Widjaja Tunggal, AK. MBA., Peraturan
Perundang-undangan Perbankan di Indonesia, buku VII, Jakarta: Harvarindo, 2003, Hlm. 111.
[10] Simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan
itu, Ibid.
[11] Deposito adalah simpanan yang penarikannya
hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah
penyimpan dengan bank. Widjanarto, Hukum
dan Ketentuan
Perbankan di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Utama Graffiti, edisi IV, cet I, 2003, Hlm. 66.
[12] Rekening Koran adalah hubungan utang piutang
yang secara periodic dilakukan perhitungan penyelesaian; dan atau rekening
pribadi atau perseorangan di bank (giro) dan dalam perbankan Islam secara
operasional dapat dilakukan berdasarkan konsep wadiah yang
memungkinkan pemilik dana untuk dapat menarik dana miliknya sewaktu-waktu. Karena dalam current
account ini bank tidak memberi interest/bunga
kepada yang empunya uang. Menurut Hukum agama, pelaku current account ini boleh, jika tidak mengandung sesuatu yang haram didalamnya,
yaitu apabila itu tudak memberi interest/bunga kepada yang empunya uang.
Apabila ia terikat dengan bunga/interest yang diberikan, maka hukumnya haram,
sekalipun interest itu sangat kecil. Dan bank membuka konto – kuran bagi
langgananya, dan ini boleh mempergunakan kredit itu setiap waktu. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jilid II,
Jakarta: Balai Pustaka, 1994, Hlm. 829, dan lihat pada Drs. Fuad Moch
Fachruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi,
Perseroan Dan Asuransi, Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1993, Hlm.124.
[13] Pemberian kredit adalah tulang punggung
kegiatan perbankan. Bila kita perhatikan neraca-bank, akan terlihat oleh kita
bahwa sisi Aktiva bank akan didominasi oleh besarnya jumlah kredit. Demikian
juga bila kita mengamati sisi pendapatan bank, akan bisa kita temui bahwa pendapatan
terbesar bank adalah dari pendapatan bunga dan propisi kredit.
[14] Kahar
Masyhur, Beberapa Pendapat Mengenai Riba, Jakarta : Kalam Mulia, 1992,
Hlm. 150.
[15]
Syafruddin Prawiranegara, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1998, Hlm. 36-41.
[16] Muhammad
Syafi`i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001, Hlm. 48-67.
[17]
Agustianto, Ijma’ Ulama Tentang Keharaman Bunga Bank, 2011.
[18]Ma’ruf Amin, “Tak Ada Lagi Keadaan Dharurat”, dalam Modal No.
14/II Desember 2003.
[19] Ibid, Hlm. 277-278.
[20] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Hlm. 277.
[21]
Muhammad Hambali, Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqir
As-Sadr, 2009.
[22] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz IV, Beirut: Dar al Fikr, 1989, Hlm. 572.
[23] Bunga (riba) dari semua jenis pinjaman,
hukumnya riba diharamkan, tidak ada perbedaan antara “pinjaman konsumtif dan
pinjaman produktif” karena nash-nash Al-Qur'an dan As-sunnah secara umum dan
dengan tegas dan jelas mengaharamkan. Dan bunga (riba) yang banyak atau sedikit
sama haramnya. Sebagaimana dipahami secara benar firman Allah swt, hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu makan riba berlipat ganda”. Dr. Yusuf Qardhawi, Bunga
Bank Haram, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002, Hlm.
146.
[24] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam,
Darul Ma’rifah, 1985, Hlm. 254. Yusuf
Qardhowi menambahkan bahwa sesungguhnya riba yang merata di zaman jahiliyah
bukan riba konsumsi. Tidak ada orang yang datang meminjam kepada seseorang
untuk dimakan. Kalau ada seorang arab kaya memungut riba dari seorang miskin
yang membutuhkan pinjaman, guna kepentingan makan dan minum itu jarang sekali.
Maka itu tidak bisa dijadikan dasar Hukum bahwa riba yang dimaksudkan dalam
al-Qur'an tersebut riba konsumsi atau riba
jahiliyah. Suhrawardi K. Lubis, op. cit, Hlm. 29-30.
[25] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid III, Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996, Hlm. 76.
[26] Lihat, M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic
Perspective, terjemahan Amdiar Amir, et. Al, Jakarta:
Syariah Economics and Banking Institute, 2001.
[27] Lihat Agustianto,
Ijma’ Ulama
Tentang Keharaman Bunga Bank,
2011.
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Lihat Yusuf
Qardhawi, Fawaid al-Bank Hiya
ar-iRiba Haram, Jakrta: Ulamah Press, 2000, Hlm. 84-85.
Komentar
Posting Komentar